Lihat ke Halaman Asli

Muh Husen Arifin

Universitas Pendidikan Indonesia

Mengupayakan Langkah Preventif dalam Perisakan di Lingkungan Sekolah

Diperbarui: 30 Juli 2022   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus perisakan di tahun 2021 berdasarkan data yang dihimpun KPAI sebanyak 2.982 kasus. Jumlah kasus yang tidak bisa dianggap lumrah. Kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak memberikan sinyal bahaya, ketidakramahan pada anak-anak memberikan fakta bahwa anak-anak masih tidak aman dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan sekolah.

Tindakan perisakan di lingkungan sekolah pun patut menjadi sorotan seluruh pemangku kebijakan di level nasional dan daerah. Adanya dukungan pemerintah melalui undang-undang perlindungan anak seharusnya diimplementasikan secara seksama oleh semua pihak.

Undang-undang nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual pun harus disosialisasikan semata-mata untuk mendobrak bahwa perisakan juga tidak selaiknya dilakukan oleh oknum-oknum di lingkungan sekolah.

Pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung dan komitmen yang tinggi dalam melaksanakan undang-undang yang disertai panduan-panduan di level masyarakat dan pendidikan.

Keselamatan anak-anak penting dijaga. Argumen tentang anak-anak adalah generasi emas sudah sepatutnya diberikan narasi pendidikan yang sebenarnya. Pendidikan anti perisakan, pendidikan yang memberikan kenyamanan kepada anak-anak. Makna belajar di antaranya menjadi langkah yang berarti bagi masa depan anak-anak. Maka dari itu, diperlukan langkah-langkah konkrit dan preventif.

Langkah preventif yang mudah dilakukan di lingkungan sekolah, pertama, sosialisasi sekolah ramah anak (SRA) perlu disampaikan setiap minggu. Agar supaya, siswa mengerti dan mengaplikasikan bahwa ada aturan mengikat dan berat ketika melakukan perisakan kepada teman-temannya.

Kedua, ilmu pengetahuan tentang perisakan dan solusi dari tindakan perisakan yang tertuang ke dalam aturan maupun simulasi anti perisakan. Simulasi yang dilakukan melibatkan guru dan siswa. Hal ini akan memberikan efek positif bahwa simulasi anti perisakan memberikan pengetahuan lebih spesifik kepada anak-anak di lingkungan sekolah.

Ketiga, kesiapsiagaan terhadap tindakan perisakan. Manakala anak-anak berperilaku yang mengarah kepada perisakan diberikan peringatan dan mengurangi poin belajarnya. Agar siswa tahu bahwa perisakan bukan bagian dari dirinya. Pembelajar sejati tidak melakukan perisakan.

Keempat, keterlibatan orang tua dan masyarakat sangat diharapkan bersinergi dengan optimal. Sekolah bukan sekadar tempat berbagi keilmuan, tetapi tempat orangtua dan masyarakat berdiskusi tentang pendidikan, utamanya untuk generasi emas Indonesia. Maka, sekolah harus mengevaluasi dan membuat rangkaian pertemuan kepada masyarakat dan orang tua, agar meminimalisir terjadinya perisakan yang tidak diketahui sebelumnya.

Langkah preventif ini bukan sekadar informasi, namun penting diimplementasikan dalam rangka menyudahi perilaku perisakan dan perilaku amoral lainnya. Pendidikan yang merdeka adalah mendidik dengan tidak tergesa-gesa dan tidak mendadak. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline