"Yusuf, kemasi barang-barangmu. Kita akan berangkat!"
Sosok Yusuf yang diperintah adalah keponakan dari pendekar bermata satu. Panglima tua tubuhnya tambun. Pendekar yang kemampuannya mulai menurun ini bernama Shirkuh. Saat itu bulan Desember 1168. Lebih dari duapuluh tahun sebelum pecah Perang Salib Kedua yang akan jadi peristiwa penting Kerajaan Islam merebut Kota Jerusalem.
Pemuda yang mendapat perintah itu sangat berbeda dengan pamannya. Kurus, dan ringkih. Usianya masih tergolong muda, 31 tahun. Tampan, berkulit cerah, dan punya garis wajah melankolis. Nama lengkapnya Yusuf bin Najmudin. Dari Suku Kurdi.
Pada hari itu ia ditugaskan Sultan Nuruddin untuk mengantar Shirkuh membawa pasukan Kerajaan Islam dari Damaskus menuju Mesir guna membebaskan Mesir dari serangan orang-orang Kristen. Saat itu Yusuf begitu amat takut.
"Seperti seorang pria yang diantar menuju kematiannya," kesan Yusuf sebagaimana digambarkan Karen Amstrong dalam Holy War: The Crusades and Their Impact an Today's World.
Setelah memasuki Mesir beberapa bulan kemudian, sang paman mendadak meninggal dunia. Garis takdir, Mesir sudah berhasil dikuasai. Masalah baru muncul kemudian; siapa yang harus menggantikan Shirkuh?
Rupanya, Yusuf masuk incaran radar. Banyak Amir -pemimpin, yang lebih layak ketimbang Yusuf. Tapi, beberapa petinggi menginginkan seseorang yang loyal dengan kepribadian yang bersahabat. Catat; sosok bersahabat!
Yusuf terbilang paling muda. Tampak tidak punya pengalaman serta paling lemah di antara para Amir dalam pasukan Shirkuh. Garis takdir, ia pun dipilih untuk memimpin Mesir.
Figur yang tadinya dianggap lemah dan terlalu lembek ini malah menjelma menjadi sosok kuat. Siapa sangka di kemudian hari malah paling efektif dalam kampanye jihad merebut Jerusalem.
Penuh Tenggang Rasa
"Ketika Tuhan memberiku Negeri Mesir, aku yakin bahwa Dia juga bermaksud memberiku tanah Palestina" demikian kata-kata pelantikan Yusuf sebagai Wazir -setingkat gubernur, di Mesir.