Ketika itu G30S/PKI peristiwanya sudah berlalu empat bulan. Memasuki tahun baru 1 Januari 1966, sebelum subuh tempat tinggal keluarga saya di Tambak Rejo IV, Surabaya, dikepung sejumlah tentara militer. Sang komandan regu menggedor pintu rumah. Suaranya keras, memaksa agar bapak saya keluar dan kemudian meminta ikut dengannya.
Isi rumah hanya empat orang; bapak, ibu, saya, dan bulik (adik kandung bapak). Semuanya gelisah. Ibu menangis. Bulik saya juga ikut menangis sampai badannya gemetar. Kepala saya terus didekap oleh ibu. Sebentar-sebentar diciuminya, terasa sekali ada air mata mengalir. Bapak saya akhirnya dibawa pergi, dikawal pasukan bersenjata. Derap puluhan sepatu lars terdengar menjauh dan lama-lama menghilang.
Setelah rombongan tentara pergi, keadaan kampung yang semula sunyi mendadak gaduh. Kondisi antara rumah satu dengan rumah lainnya, waktu itu belum rapat seperti perumahan modern. Bangunan rumah di belakang dan rumah samping belum ada tembok penghalang sehingga sehari-hari antar tetangga dapat saling berkomunikasi.
Tapi malam itu rupanya sudah dikondisikan. Para tetangga sempat bercerita kalau dalam radius 100 meter sudah dilapisi pasukan bersenjata. Deretan rumah di belakang, samping kanan dan kiri, serta rumah bagian depan semua dijaga tentara. Penghuni rumah tidak diperbolehkan melihat. Semua takut. Jangankan melihat, untuk mengintai saja tak ada keberanian.
Selama tiga hari hanya ibu saja yang keluar rumah sedangkan saya dan bulik tidak boleh ikut. Karena saya anak satu-satunya maka masuk akal mereka merasa takut terjadi sesuatu. Kalau saya bermain ke rumah tetangga, selalu muncul kata-kata, "Bapak kamu diculik," atau, "Bapak kamu diciduk militer". Waktu kejadian usia masih tujuh tahun, sehingga belum tahu sesungguhnya jawaban apa harus saya berikan.
Kira-kira hari ke empat barulah saya diperbolehkan ikut. Ibu bilang bapak sudah sangat kangen. Saya diajak ke sebuah kantor, ternyata tempat itu semacam sel tahanan militer. Lokasinya di Jalan Kenjeran, Surabaya tidak jauh dari Tempat Pemakaman Umum Rangkah. Sang komandan menemui ibu, dia berkata dalam bahasa Jawa yang artinya bapak diperbolehkan pulang karena ada jaminan dari kantor bapak. Setelah menunggu cukup lama, datang sekitar 4 orang juga memakai seragam militer warna hijau. Saya mengenali wajah para perwira ini. Mereka adalah pimpinan instansi tempat bapak berdinas. Singkat cerita, bapak saya diizinkan pulang dan boleh bekerja seperti sedia kala.
Bapak saya sebenarnya seorang militer berpangkat "kroco". Sehari-hari anggota Posmil (pos militer), kantornya satu atap dengan Kantor Pos Besar di Kebonrojo, Surabaya. Posmil merupakan instansi penting di kesatuan Angkatan Darat karena menjadi tempat pendistribusian segala bentuk komunikasi dan informasi baik telegram, teleks dan surat-surat penting berkode "rahasia". Oleh sebab itu Posmil termasuk instansi vital. Saya pernah diajak piket malam oleh bapak, di kantor itu terlihat beberapa senjata api laras panjang dan pistol. Sekarang, dengan sudah canggihnya sarana informasi, saya tidak tahu apakah Posmil masih ada atau sudah tutup.
PKI melukai hati
Setelah dewasa barulah saya mengerti duduk perkara sebenarnya. Penahanan bapak saya merupakan imbas dari G30S/PKI. Bapak dicurigai ikut membantu atau menyembunyikan seorang tokoh PKI berasal dari Jakarta. Menurut informasi salah satu tempat pelarian sosok penting ini sama persis dengan alamat rumah saya. Tidak bisa ditebak dengan pasti, berasal dari siapa informasi itu. Bahwa rumah saya sering kedatangan tamu memang betul. Ibu saya dari Jombang, mempunyai silsilah keluarga besar. Dari sekian banyak saudaranya menyebar bermukim di kota-kota lain di Jawa. Bapak saya asal Mojoagung -Jombang, memiliki kerabat yang juga bisa saja suatu saat singgah ke rumah saya. Jadi wajar andaikata mereka mampir ke Surabaya, sekadar singgah.
Semenjak peristiwa penahanan bapak, semakin banyak tamu berdatangan. Ada tetangga, ada saudara dan famili jauh, hilir mudik sekadar memastikan keberadaan bapak saya. Intinya cuma satu, mereka pada ingin mengetahui bapak saya "terlibat" PKI atau tidak. Keluarga saya lama-lama mempunyai beban mental. Tidak enak "dicap" sebagai antek PKI. Sulit juga ditepis sebab faktanya pernah ditahan. Meskipun tetamu yang datang selalu menghibur, sorot mata mereka sesungguhnya ada kecurigaan. PKI semacam duri yang telah melukai hati keluarga saya.
Setelah dewasa dan bekerja menjadi wartawan semakin saya sadari imbas PKI meluas. Limabelas tahun kemudian (era 1980-an) saya mencatat banyak pejabat sipil atau militer terkena sanksi, gara-gara keluarganya punya latar belakang PKI. Istilah waktu itu terkena "indikasi". Tanpa terkecuali sosok itu sedang berada di pucuk pimpinan, seketika itu harus turun dan diberhentikan. Tidak jarang diantaranya dikucilkan, menjadi terasing, dan kemudian menemui ajal akibat tekanan kejiwaan.
Seandainya Tuhan tidak mengulurkan tangan-Nya menolong bapak saya, mungkin ceritanya akan berbeda. Bisa saja bapak ditahan lebih lama, atau bahkan dihabisi karirnya --minimal dipecat tanpa uang pensiun. Lebih parah lagi diasingkan ke Pulau Buru, tempat tahanan politik di zaman itu. Di tengah keadaan pelik suatu keajaiban pasti diperlihatkan Tuhan.