Lihat ke Halaman Asli

Arifin BeHa

TERVERIFIKASI

Wartawan senior tinggal di Surabaya

Cerita Bung Karno dari Kapasari Menuju Hamzah Fansuri

Diperbarui: 6 April 2017   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peringatan HPN 2017 & HUT PWI ke 71 di Gedung Grahadi Surabaya (Dok. Surya)

Tahun 1980-an Kampus Akademi Wartawan Surabaya (AWS) dan Sekolah Asisten Apoteker (SAA) berada dalam satu komplek. Menempati bangunan tua peninggalan Belanda di Jl. Kapasari 3-5. Gedung ini diambil alih pemerintah sepeninggal pemiliknya pasca peristiwa G 30S PKI. Arsitek China terlihat melalui dua patung singa di halaman tengah, menghadap ke timur.

Mahasiswa AWS dan pelajar SAA yang sebagian besar cewek dari etnis Tionghoa saling berinteraksi. Bahkan diantaranya ada yang menjalin hubungan spesial. Mereka terbilang rukun sebab sudah saling kenal. Sebuah akulturasi budaya yang alami.

Seputar kampus calon wartawan dan sekolah menengah atas itu perumahan padat di Surabaya yang sebagian besar dihuni orang Tionghoa. Mahasiswa AWS banyak indekos sekitar daerah tersebut, sementara murid SAA rumahnya juga tidak jauh dari Jl. Kapasar.

Seorang mahasiswa bercerita. Dia berangkat ke kampus cukup jalan kaki, melintasi pemukiman padat tersebut. Lama-lama bisa menebak siapa penghuni rumah, apakah dia Tionghoa atau bukan –waktu itu disebutnya pribumi. Bagaimana caranya? Begini. Jika di rumah tersebut sedang ada orang mandi, kemudian selesai mandi terdengar suara handuk dikibas-kibas, berarti rumah itu isinya pribumi. Tetapi bila setelah mandi terdengar keras suara seperti hendak mengeluarkan dahak…..tandanya itu rumah orang Tionghoa.

Kehidupan berbaur dengan etnis Tionghoa, membuat mahasiswa ini mengerti bahasa cungkwok. Jika Idul Fitri tiba, mereka unjung-unjung (silaturahim) mendatangi warga yang merayakan lebaran. Sebaliknya, saat merayakan imlek dia pun diundang makan. Mereka selalu bilang, “Buk kuatir, ini sajian tidak mengandung babi”. Maksudnya, makanan dijamin halal.

Hari ini, Rabu (27/3/2017) Persatuan Wartawan Indonesia Jawa Timur mengadakan resepsi Hari Pers Nasional 2017 dan HUT PWI ke 71 di Gedung Negara Grahadi Surabaya. Sudah tiga tahun ini HPN dan HUT PWI berturut-turut terselenggara di Gedung Grahadi.

Bicara PWI mengingatkan liku-liku pers lokal Surabaya, yang tidak bisa lepas dari etnis Tionghoa. Kiprah mereka ikut berjuang membesarkan suratkabar di Surabaya membekas dalam sejarah. Pendek kata, sulit memisahkan kehidupan sosial Tionghoa dengan kegiatan jurnalistik di tanah air.

Bung Karno Lepas Kopiah

Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka, pada masa Kesultadi tanah airnan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604). Hamzah Fansuri memberikan sumbangan pemikiran di bidang kebahasaan, dan penulis pertama kitab keilmuan bahasa Melayu.

Pemerintah Hindia Belanda menggunakanya sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu untuk berkembang maju dan dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia pada dewasa ini.

Di Surabaya, Hamzah Fansuri diabadikan menjadi nama jalan, bersebelahan dengan Jl. Amir Hamzah. Cukup menarik dari dua jalan itu (Jl. Hamzah Fansuri dan Jl. Amir Hamzah), Ketua RT-nya dijabat oleh pasangan suami istri. Lebih unik lagi, pasangan ini menurut silsilah ternyata keturunan Tionghoa. Mereka berdua enggan disebut keturunan Tionghoa, dan lebih menyukai menjadi warga negara Indonesia. Mereka itu Andi Slamet dan istrinya Yiane.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline