Jumat petang , 5 Juni 2015 sejumlah aktivis Kelompok Diskusi Rumah Pancasila (KDRP) mengadakan silaturahim di rumah makan ALHAMRA Surabaya. Acara ini kebetulan dihadiri sejumlah wartawan senior yang sebelumnya memang sudah saling kenal.
KDRP semacam aktivitas penyadaran bahwa Pancasila dan UUD’45 adalah hasil pemikiran dan gagasan sangat matang serta dilandasi jiwa nasionalisme yang sangat tinggi dari para pendiri bangsa Indonesia. Kalaupun diperlukan penyesuaian terhadap kondisi kekikian cukup dilakukan perubahan pada penjelasan atas UUD’45 dan memberikan addendum saja. Tidak perlu harus dilakukan amandemen seperti sekarang.
Wartawan senior ada Hadiaman Santosa, dulunya pernah aktif di Sinar Harapan dan Suara Indonesia lalu kemudian menjadi redaktur Harian Surya; Yamin Akhmad dari Tabloid Teduh, dan Djaka Mudjiana, mantan redaktur di Surabaya Post. Hadir juga budayawan senior Sabrot D Malioboro. Sementara aktivis KDRP ada Muhammad Rudiansyah; Saimi Saleh eksportir kopi dan pengolahan hasil laut; dan Prihandoyo Kuswanto salah satu pengurus KDRP.
Beberapa jam sebelum pertemuan ini berlangsung, mantan Direktur Utama PT PLN dan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Jadi tentu saja aroma masakan “Arabian Food” AL HAMRA seolah-olah hambar, terkalahkan oleh kasus dugaan korupsi pengadaan dan pembangunan gardu induk Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013 itu.
Hadiaman Santosa, sosok yang pernah bersama-sama Dahlan Iskan dalam organisasi kewartawanan PWI Cabang Jawa Timur yakin jika koleganya itu tidak terlibat kasus korupsi. “Bahwa kemudian dia terjebak lingkaran di PLN lain soal. Dahlan itu orangnya sangat teliti, tapi di lain pihak mudah percaya” kata Hadiaman
“Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga Pak DIS (sapaan Dahlan Iskan), terutama anaknya” ujar Yamin Akhmad. Hadirin tentu paham yang dimaksud Yamin adalah Azrul Ananda, Direktur Utama Jawa Pos, putra sulung Dahlan Iskan.
Tidak jauh dari tempat duduk Hadiaman Santosa, tiba-tiba Muhammad Rudiansyah menimpali pembicaraan rekan-rekan seniornya itu.
“Saat ini kita berada dalam situasi krisis moneter, krisis ekonomi dan krisis kepercayaan (baca: kepemimpinan) yang seakan-akan sulit dicarikan jalan keluarnya” tambahnya. Rudiansyah yang juga pengurus KADIN dan pengurus REI itu bahkan menulis kegelisahan yang dirasakan lewat akun fesbuknya, seperti ini:
“….Teringat di tahun 2005 , ketika sebagai Ketua Kadin sempat bertemu beliau (Dahlan Iskan) ketika itu masih Dirut Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Jawa Timur. Saya mengatakan "Pak Dahlan, saya titip teman-teman saya yang berangkat dari swasta dan saat ini menjadi direksi di BUMD. Mereka adalah orang-orang yang mindsetnya goal oriented tetapi harus memimpin entitas bisnis yang terbelenggu oleh aturan-aturan yang ketat. Saya kuatir mereka sukses secara bisnis tetapi akan menghadapi ancaman hukum karena persoalan administratif.
Inikah yang terjadi pada beliau saat ini ???
Semoga beliau dan keluarga diberikan kesabaran dan kekuatan….”
Banyak buku mereferensikan Dahlan Iskan seperti memiliki tapak tangan dewa dalam mengelola perusahaan. Dia mampu bekerja tanpa batas waktu dan tanpa kendala ruang. Mengurus perusahaan, baginya seperti bertempur di medan perang. Dia tak mau ada hambatan apa pun terkait usaha memajukan perusahaan. Baginya segala persepsi dan asumsi harus terbukti di lapangan. Tanpa fakta keuntungan yang riil, semua persepsi dan asumsi dunia bisnis adalah kebohongan.
Tidak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminangnya menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang sedang mengalami krisis lisrtik dan manajemen. Inilah sejarah pertama seorang lulusan pesantren dipercaya menjadi Dirut sebuah BUMN besar dengan total aset Rp 300 triliun. Salah satu pertimbangan presiden waktu itu adalah kemampuannya dalan manajemen dan leadership.
Hanya dalam waktu relatif pendek (22 bulan) Presiden SBY kemudian mengangkatnya menjadi Menteri BUMN. Ini juga sejarah pertama seorang Menteri BUMN berlatar belakang pendidikan pesantren. Total ada 140-an BUMN dengan sekitar 600 anak dan cucu perusahaan yang membidangi perbankan, asuransi, telekomunikasi, moda angkutan darat-udara-laut, perkebunan, pertanian, peternakan, industri semen, industri pupuk, senjata, nuklir dan sebagainya…
Dahlan telah berjanji pada dirinya sendiri, dan kawan-kawannya pada tahu, untuk tidak mengambil keuntungan apa pun. Dia cuma ingin mengabdikan dirinya bagi kebaikan negeri ini. Dia tidak mengharapkan upah dan fasilitas dari Negara atas tugas-tugasnya. Karena apa? Dia sanggup membiayai sendiri semua tugas dan kegiatannya.
Dia tidak mau ada uang yang menetes ke kantongnya dari perusahaan-perusahaan Negara yang ditanganinya. Itu sudah menjadi janjinya kepada Tuhan.
Acara silaturahim KDRP semakin larut. Sebelum makan malam selesai, Rudiansyah menyampaikan pesan tentang bahasa kuliner. Konon ada restoran penyaji “Arabian Food” di bilangan Jakarta kota yang termasyhur berkat kelihaian pemiliknya menyampaikan komunikasi.
Setiap ada pengjunjung baru, lanjut Rudiansyah, pemilik resto selalu bilang bahwa menu-menu sajiannya paling enak, setidaknya selalu nomor dua di jagad kuliner “Arabian Food”. Di Jakarta dibilang nomor dua paling enak. Bukan itu saja, di jazirah Arab pun masakannya disebut terbaik nomor dua.
Bahasa dan komunikasi pemilik restoran ini tentu membuat pelanggannya penasaran, “Yang nomor satu dimana?” begitulah kira-kira pertanyaan logis berbalut rasa ingin tahu.
“Yang nomor satu tidak pernah ada” ujar Rudiansyah menirukan logat bahasa pemilik resto tersebut. Jadi, kalau boleh jujur restoran tersebut sebenarnya ingin disebut paling enak. Sebab faktanya memang yang nomor satu tidak ada.
Masuk akal. Inilah bahasa kuliner!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H