Lihat ke Halaman Asli

Ada Kesan Indikasi Diskriminatif Perlakuan Hukum Bagi Penderita Penyakit Jiwa

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyimak tulisan Anita Latifah 15/01/10 tentang kasus Baekuni alias Babe (klik disini, cari sana), secara tersurat maupun tersirat bahwa Babe adalah penderita kelainan atau penyakit jiwa yang cukup parah dalam arti lebih dari satu macam, antara lain yaitu homoseksual, pedofilia dan nekrofilia serta mungkin juga psikopat. Hal ini baru diketahui setelah terungkap dalam pemeriksaan aparat penegak hukum (gakkum) sehubungan ybs melakukan tindak kejahatan pembunuhan dan mutilasi. Kasus ini mengingatkan pada kasus serupa beberapa tahun yl, yaitu kasus Robot Gedek. Bahkan kedua kasus tersebut dapat disimpulkan sama dengan pelaku yang berbeda, korbannya sama yaitu anak-anak

Kasus tersebut juga mengingatkan kasus yang mirip dan masih segar dalam ingatan, yaitu kasus Ryan Jombang yang proses peradilannya mungkin masih belum selesai. Kemiripan kasus Ryan adalah dilakukan oleh orang lain tetapi sama-sama penderita kelainan atau penyakit jiwa yang mungkin tingkat keparahan dan jenisnya berbeda. Yang membedakan lagi pada kasus Ryan adalah korbannya sebagian besar adalah orang dewasa teman pasangan kencan homoseksualitasnya.

Dalam tulisan ini saya hanya meninjau secara umum, sepintas, sepihak atau apapun istilahnya, yaitu pelaku kejahatan pembunuhan adalah penderita kelainan atau penyakit jiwa. Terlepas jenis maupun tingkat keparahannya yang lebih rinci dan mendalam secara ilmiah diluar jangkauanpengetahuan saya. Selanjutnya membedakan perlakuan di mata hukum dengan pelaku kejahatan pembunuhan lainnya yang juga sama-sama dinyatakan atau minimal disebut-sebut juga penderita penyakit jiwa.

Kasus untuk membandingkan yang dimaksud antara lain yang masih ada dalam ingatan adalah kasus pembunuhan anak-anak yang dalam hal ini dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri (kasus ibu Anik yang membunuh 3 orang anak kandungnya di Bandung beberapa tahun yl). Dalam pemeriksaan terungkap pula bahwa Anik juga mengidap kelainan atau penyakit jiwa yang juga cukup parah. Sehingga hal ini menjadi pertimbangan atau alasan bahwa pelaku bebas demi hukum dari jerat hukum pidana yang dituduhkan kepadanya di tingkat pemeriksaan awal, artinya kasus ini tidak perlu dibawa ke meja hijau untuk disidangkan.

Dibanding dengan kasus Babe, Robot Gedek dan Ryan Jombang yang nota bene juga mengidap atau minimal disebut-sebut menderita kelainan atau penyakit jiwa, terdapat perlakuan di mata hukum yang sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Apapun nama pasal yang dituduhkan, apakah pembunuhan berencana atau pembunuhan spontan atau apapun namanya. Ketiga terdakwa pelaku kejahatan tersebut diancam atau dituntut hukuman mati. Robot Gedek sudah divonis tetapi belum sempat dieksekusi, karena kedahuluan mati dengan sendirinya secara wajar dan alami (?) di penjara tempat terakhir sebelum dipaksa menghadap kepada sang pencipta dirinya dan maupun pencipta para aparat penegak hukum (gakkum) yang memproses perkaranya.

Satu lagi kasus penderita penyakit jiwa yang sudah menjalani hukuman adalah Sumanto, entah apa nama jenis penyakit jiwanya. Kasusnya adalah memotong dan memakan daging mayat yang meninggal secara wajar alami, bukan oleh perbuatannya. Perlakuan sadis terhadap mayat atau kebalikan penyakit yang bernama nekrofilia (mencintai, mensetubuhi mayat) mengantarkan Sumanto ke balik jeruji besi penjara. Hukuman yang sudah dijalani masih harus ditambah hukuman sosial dari lingkungan hidupnya, berupa penolakan tidak diterima di lingkungan keluarga dan tetangga. Untung ada salah satu pondok pesantren yang mau menerima sekaligus merehabilitasi jiwanya.

Dalam kasus Babe Baekuni yang kini masih berlangsung bila memperhatikan pelaku di tayangan berita televisi memang menunjukkan bahwa pelaku terlihat biasa-biasa saja seperti layaknya orang normal. Bahkan begitu santai senyum dan tawa berderai ketikamenjalani pemeriksaan oleh aparat.gakkum. Di mata orang awam dan aparat gakkum hampir dapat dipastikan bahwa pelaku tidak mempunyai rasa penyesalan atas perbuatan kejinya. Hal ini juga dapat hampir dipastikan bahwa nantinya akan menjadi fakta hukum di persidangan yang akan memperberat hukumannya. Apakah benar adanya bahwapelaku tindak kejahatan kriminal pembunuhan keji seperti Babe Baekuni, Robot Gedek dan Ryan Jombang betul-betul tidak menyesali perbuatannya ? Di lain fihak mereka telah dinyatakan oleh saksi ahli yang kapasitasnya berkompeten professional dan proporsional dalam bidangnya, minimal disebut-sebut bahwa mereka mengidap penyakit jiwa.

Artinya meskipun pelaku itu menunjukkan penampilan layaknya orang normal, tapi perlu diingat bahwa pelaku itu orang yang tidak normal. Singkatnya perilaku yang nampak normal dilakukan oleh orang yang tidak normal, jadi tampilan yang normal itu adalah sesuatu hal yang tidak normal. Asli beneran tidak dibuat-buat seperti dalam cerita sinetron. Jelas dapat ditertima akal sehat bahwa pelaku adalah bukan pemain sinetron yang dapat beracting dengan akal sehatnya memperagakan peran antagonis. Jadi terasa ada kejanggalan bahwa perilaku pelaku yang tidak normal ditanggapi oleh orang normal terutama aparat gakkum sebagai perilaku normal dan lebih dari itu menjadi fakta hukum yang memberatkan tindakan pelaku.

Bandingkan perilaku terpidana mati pelaku kejahatan terorisme Amrozi, dkk. yang telah membunuh sampai ratusan jiwa yang dalam persidangan begitu arogan dan banggganya (yang juga dapat digolongkan tidak menyesali perbuatannya) bahkan sempat-sempatnya meneriakkan kalimat suci takbir. Perlu diketahui bahwa tidak ada satu orangpun pelaku tindak kejahatan terorisme yang dinyatakan atau disebut-sebut atau terindikasi menderita kelainan atau penyakit jiwa. Semuanya sehat walafiat lahir-batin, mental dan spiritual serta berperilaku normal sesuai akal sehatnya, tidak dibuat-buat dan bukan pemeran antagonis artis sinetron.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Babe Baekuni, akibat penyakit jiwa yang dideritanya pelaku kehilangan akal sehat, kehilangan rasa bertanggung jawab atau tidak menyesali perbuatan dan rasa lainnya yang ada pada orang normal, baik sebagian maupun seluruh sifat atau rasa yang dimiliki tergantung tingkat keparahannya. Artinya ya seperti itulah gejala klinis yang nampak pada penderita penyakit jiwa yang mungkin hanya dapat dipahami oleh orang yang yang ahli dibidang penyakit jiwa itu (psikater)

Saksi ahli memang tidak punya kapasitas dan kompetensi dalam bidang hukum, tidak bisa mempengaruhi jalannya persidangan. Keterangannya hanya dibutuhkan sebatas menentukan apakah pelaku kejahatan adalah orang normal atau tidak normal dalam arti mengidap kelainan atau penyakit jiwa. Kalaupun seandainya dapat mempengaruhi, paling-paling diluar persidangan sebatas saran saja. Otoritas sepenuhnya penerapan hukum bagi penderita kelainan atau penyakit jiwa ada pada aparat gakkum. Selanjutnya tergantung pada aparat gakkum menterjemahkan perilaku pelaku yang tidak normal itu di persidangan sebagai fakta hukum yang idealnya meringankan, bukan sebaliknya seperti

kenyataan yang selama ini terlihat. Artinya logikanya perilaku pelaku yang tidak normal itu seharusnya dimaklumi atau dimaafkan ‘yang waras mengalah’

Saya tidak mengatakan bahwa terdapat kesalahan prosedur dalam penerapan hukum bagi penderitakelainan atau penyakit jiwa. Saya sangat jauh diluar kapasitas dan kompetensi dalam bidang hukum. Dalam hal ini sebagai orang yang awam terutama dalam bidang hukum hanya berbeda pendapat, berbeda pemahaman dan berbeda pandangan. Kalau renungan yang bukan analisa ini benar begitu, sungguh amat sangat kasihan dan memprihatinkan. Orang gila (sebutan umum) bagi penderita kelainan atau penyakit jiwa dihukum mati atas perbuatannya yang nota bene mungkin juga perbuatan diluar akal sehatnya, seperti halnya kasus ibu muda Anik dari Bandung yang membunuh darah dagingnya sendiri. Tidak pantas mengatakan salah atau dosa terhadap orang gila sehingga tidak seharusnya diadili. Justru sebaliknya seharusnya dilindungi dan direhabilitasi jiwanya. Kalau keluarganya tidak mampu maka harus menjadi tanggung jawab negara dan pemerintah, sesuai amanat dalam dasar falsafah negara UUD 1945 dalam pasal mengenai orang-orang miskin, anak terlantar dsb dipelihara oleh negara…dst

Dengan demikian secara sepintas dapat disimpulkan bahwa hukuman mati yang selama ini sebagian penerapannya sebagai shock terapi untuk mencegah kejahatan serupa. Di lain fihak hukuman mati juga untuk melegalkan pembunuhan, seperti diterapkan pada orang gila selama ini. Sepertinya jadul jahiliyah hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa atau hukum rimba siapa yang kuat (orang waras, penguasa) harus menang. Hal ini layaknya penerapan ‘hukum’ bagi hewan. Pada suatu populasi apabila terdapat satu, dua atau beberapa ekor hewan dinyatakan menderita suatu penyakit menular, maka hewan yang menderita itu dikeluarkan dari populasinya agar didak menularkan pada yang lain masih sehat (mengacu pada nilai ekonomis hewan), melalui cara culling, stamping out, potong paksa, potong bersyarat, dsb. Atau sebaliknya apabila pada suatu populasi terdapat beberapa ekor hewan yang menderita penyakit menular dapat menular ke manusia (zoonosis) maka seluruh hewan dalam populasi itu dimusnahkan, antara lain dalam kasus penyakit sapi gila, flu burung dan flu babi.

Apakah dapat dikatakan bahwa penerapan hukum selama ini berjalan mundur atau tidak mengacu pada sumber dari segala sumber hukum dasar falsafah negara the master law UUD 1945. Yang tertera di alinea pembukaan, menjiwai seluruh isi ayat dan pasal di dalamnya. Yaitu salah satu butir pancasila sila ketiga ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’. Menghukum apalagi hukuman mati bagi orang yang sakit jiwa, apakah itu mencerminkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Butir-butir pancasila yang dengan mudah dihafalkan diluar kepala tetapi juga begitu mudah untuk melupakan menerapkannya.

Bukankah logika idealnya orang yang diketahui atau dinyatakan menderita kelainan atau penyakit jiwa itu dirawat dulu sampai sembuh menjadi orang normal, sebelum diajukan ke meja hijau persidangan? Bandingkan kasus yang menimpa orang yang dinyatakan sakit fisik boleh menunda tidak hadir di persidangan. Padahal mungkin sakitnya biasa-biasa saja sakit ringan semacam flu, bukan sakit parah sampai terkapar dengan peralatan medis yang menempel ditubuhnya.

Mudah-mudahan menjadi pertimbangan minimal renungan bagi para ahli dan praktisi hukum dan para ahli dan praktisi psikatri. Kalau orang telah dinyatakan atau disebut-sebut gila, maka tidak layak diadili atas perbuatan kejinya. Sebaliknya orang yang diadili atas perbuatan kejinya harus tidak boleh orang yang disebut-sebut atau dinyatakan sebagai orang gila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline