Lihat ke Halaman Asli

Menakar Kadar Nasionalisme Anak Bangsa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyimak tayangan acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TVOne tanggal 22 April 2014 Selasa malam, sungguh enampilkan adegan yang menggelitik memilukan dan bahkan memalukan. Acara yang membahas masalah kasus kejahatan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Pemandu acara Karni Ilyas dan menghadirkan narasumber semua fihak yang terkait dan berkepentingan, satu persatu diminta untuk berbicara sesuai kapasitas masing-masing.

Berbagai narasumber yang terlihat berbcara antara lain orang tua korban, keluarga tersangka, psikologanak, psikater, pengacara korban, pengacara JIS, ketua dan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kemudian pejabat pemerintah, yaitu wakamendikbud, dirjen PAUD dan pejabat legislatif DPR. Hadir juga pejabat Polri adalah Kabid Humas Polda Metro Kombes Rikhwanto.Juga ada pakar hukum senior Prof Sahetapy.

Yang menarik dicermati adalah ketika salah seorang narasumber diminta bicara, adalah pengacara terkenal Hotma Paris Hutapea, dalam kapasitasnya bukan sebagai pengacara. Melainkan sebagai salah satu orang tua siswa yang sekolah di JIS. Dengan bangganya menceritakan keberhasilan anak-anaknya yang sekolah di JIS. Satu orang anak masih menjadi siswa, dua orang anak lainya sudah lulus SMA JIS dan melanjutkan di Universitas terkenal di luar negeri. Intinya dia tidak termasuk orang yang meragukan keamanan siswa dibalik kehebatan dan kemewahan JIS dengan bangunan fisik gedung yang sedemikian sangat eksklusif.

Tiba gilirannya ketika KarniI lyas meminta yang bicara dari seorang ibu adalah pejabat Dirjen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Kemendikbud. Entah apa maksud ibu yang satu ini, menanyakan pada Hotma Paris Hutapea “apakah di JIS ada komite sekolah?” yang nota bene adalah terdiri dari perwakilan orang tua siswa,sebagai penghubung kepentingan antara siswa, orang tuasiswa dan penyelenggara sekolah. Juga entah tersinggung karena apa, boro-boro alih-alih Hotma menjawab ya atau tidak, tidak tahu atau apapun. Dengan nada tinggi Hotma menjawab “anda jangan sok pintar, anda pintar dibidang anda, saya juga pintar dibidang saya. Saya datang kesekolah kalau ada undangan, menghadiri acara ini dan itu, tidak ada hubungannya dengan komite sekolah, komisi sekolah. Anda jangan jadi pengacara, terbalik pengacaranya itu saya, dsb”.

Astaga naga, dimanakah letak etika sosok pengacara terkenal ini? Apa sih susahnya menjawab, ya atau tidak, tidak tahu, dsb dengan cara santun? Etiskah seorang pengacara terkenal berkata sedemikian kasar didepan orang lain, menjawab pertanyaan seorang pejabat pemerintah dalam forum resmi yang banyak dihadiri para pejabat tinggi lain. Apakah hanya cukup begitu saja kesombongan sang pengacara terkenal itu? Ternyata lebih dari itu, lebih dari tidak etis atau kurang ajar. Kurang ajar yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran hukum. Menghina pejabat aparat pemerintah, aparat pemerintah adalah salah satu simbol negara. Berarti menghina pemerintah dan menghina negara.

Betapa tidak! Moncong sang pengacara terkenal itu masih terus nerocos bernada sangat marah, bicara seenaknya, tanpa diminta memotong pembicaraan Dirjen PAUD. Diantara manuver kekurang ajaran bacot sang pengacara terkenal itu, antara lain mengatakan bahwa anaknya sudah lulus dari JIS dan universitas terkenal luar negeri dan lebih pandai lebih berhasil daripada anda ‘bu Dirjen PAUD’. Sampai-sampai congor sang pengacara terkenal ini harus dibungkam dengan bentakan pembawa acara KarniIlyas : “andadiam”.

Sungguh luar biasa dan luar binasa, kalau organisasi pengacara itu tidak punya Majelis Kode Etik Kehormatan Profesi yang ‘mengadili’ ulah anggotanya yang kurang ajar seperti ini. Juga menjadi pertanyaan orang awam ‘apakah penghinaan kepada pemerintah dan negara itu sebagai tindak pidana yang harus dilaporkan (delik aduan) oleh korban dan orang lain (saksi) agar dapat diproses verbal?’ Kalau orang awam sajayang menyaksikan acara ILC itu membicarakan kasus JIS yang antara lain juga membicarakan nasionalisme, tahu bahwa diantara yang hadir ternya ada yang a(narkis)nasionalis.

Banyak hadirin yang lain yang nota bene sebagian besar adalah orang hukum dan penegak hukum, orang yang tahu, mau dan mampu bertindak secara hukum. Akankah perilaku seorang pengacara terkenal itu ditindak lanjuti sebagai temuan pelanggaran hukum pidana ‘penghinaan kepada pejabat pemerintah dan negara?’ Sungguh amat disayangkan kalau semuanya ternyata cuek bebek melihat dengan mata kepala sendiri, didepan mata didepan hidung.

Tema yang dibahas adalah masalah pendidikan nasional yang dikemas dan diselenggarakan dengan merek internasional. Menyuguhkan adegan yang tidak mendidik, begitu mudahnya seseorang warga negara menghina negaranya. Dimana pula Komisi Penyiaran Indonesia, tidakkah tergiur menegur tayangan yang menyiarkan lebih dari adegan kekerasan, pornografi dan pornoaksi?

Ataukah hanya cukup dengan sanksi sosial, dengan memboikot sepak terjang sang pengacara terkenal itu? Semoga tidak ada dan tidak ada lagi yang mau berhubungan menggunakan jasa hukum dari pengacara yang kurang ajar seperti ini.Ataukah seorang pengacara yang tahu masalah hukum itu harus kebal hukum? Pastitidak, dan yang pasti kebal hukum di negeri ini hanya orang yang dinyatakan psikosis berat oleh psikater yang berwenang. Maka kalau pengacara ini lolos dari jerat hukum, berarti sama dengan atau identik dengan psikosis.

Tags. hukum, ILC, TVOne




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline