Lihat ke Halaman Asli

Tebar Kurban di Langsa: Memori Konflik dan Ikhtiar Berbagi hingga Pelosok

Diperbarui: 26 September 2015   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Leretan kisah di Nanggroe Aceh Darussalam di satu masa sangat sarat dengan konflik vertikal. Itu kita pahami sebagai satu realita sejarah tersendiri. Tak terhitung berapa banyak jiwa melayang demi sebuah -isme yang dalam istilah Bennedict Anderson dimaknai sebatas “komunitas yang terbayang”. Waktu bergulir, kabar perdamaian pun menggema di seantero bumi Aceh.

 

Masyarakat Aceh telah lelah dengan tumpahnya darah anak bangsa. Lelah pula dengan nyinyir darah, desir senjata dan asap ledakan kala senja menjelang. Tapi dari lubuk hati terdalam, saya meyakini masyarakat Aceh tidak pernah lelah menatap masa depan yang lebih baik, seberapapun sulit imaji menjangkaunya.

 

Ah, jika sudah begini rasa-rasanya saya ingin memutar waktu ke abad 15 dan menuntut Sir Thomas More untuk urungkan saja niatnya terbitkan buku Utopia. Agar kita tak mengenal kata itu, serta pesimisme tak mudah menghampiri benak kita semua.

 

***

 

Ada sebuah kisah yang disampaikan kepada saya oleh mitra lokal THK tentang parahnya kondisi di Aceh kala status DOM masih disematkan di propinsi yang terkenal dengan biji kopinya.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline