Lihat ke Halaman Asli

The Beauty of Sumbar (II): Dugem is The Music of My Angkot

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rasa cengang saya semakin berlipat ketika menyaksikan angkutan kota (angkot) yang dimiliki Kota Padang. Bayangan angkot DKI Jakarta yang plain, konservatif, minim kreasi, tanpa modifikasi sana-sini hilang seketika saya menyaksikan angkot di Kota Padang. Angkot kota padang adalah manifestasi kreasi anak muda! [caption id="attachment_287013" align="alignright" width="300" caption="Interior Angkot Padang"][/caption] Striping warna-warni menghias badan mobil, beragam ornamen hiasan yang ditaruh di dashboard depan, penambahan sayap di sisi belakang mobil, lampu chrome redup di interior dalam dan cerah di body luar, full live music, seliweran sub-woofer ajep-ajep di seantero dalam angkot, hingga permainan lampu sedap dilihat ketika malam menjelang. Wow, angkot full modifikasi! Sempat terlintas di benak saya bahwa angkot modifikasi ini hanya terjadi pada beberapa armada saja. Tapi setelah seharian berkeliling Kota Padang asumsi itu terpatahkan. Setiap armada angkot yang saya temui semuanya termodifikasi. Tentu dengan perubahan yang variatif, tergantung preferensi yang dmiliki sang supir. Begitu saya berpikir. [caption id="attachment_287020" align="alignleft" width="300" caption="Warna-Warni Dashboard"][/caption] Tetapi, apakah mereka tidak merugi dengan berbagai macam modifikasi tersebut? Kawan saya yang telah cukup lama tinggal di Kota Padang, yang juga menghabiskan masa mudanya di Jakarta, menandaskan angkot di Padang memang berbeda dengan daerah lain – setidaknya dengan yang ada di Ibukota. Supir angkot Kota Padang seakan berlomba menunjukkan modifikasi ala-nya, sembari memanfaatkan ‘lomba tak resmi’ tersebut untuk memperlihatkan eksistensi dirinya di hadapan calon penumpang dan supir angkot lainnya. Yang mengejutkan, menurut pengakuan kawan saya, penumpang kelompok remaja bahkan sangat pemilih dengan angkot yang dinaiki. Jika yang berhenti di depannya tidak menarik kreasi modifikasinya atau tidak memutar lagu-lagu kontemporer yang sedang hits, bisa saja mereka tidak menaikinya meski angkot tersebut dalam keadaan kosong melompong. Beda dengan saya tentunya yang lebih senang dengan angkot kosong, mengindahkan apa yang diperbuat supir dengan tunggangannya. Pertanyaan saya tentang rugi bandar pun terjawab ketika kawan saya menyatakan bahwa memang seringkali – berdasarkan hasil obrolan – supir angkot di Padang tidak balik modal dengan segala macam modifikasi yang diperbuat. Alasan eksistensi diri dan berusaha tampil berbeda dengan supir lain mengalahkan pertimbangan ekonomis, kelihatannya. Mengagumkan. Kompetisi kreasi angkot demi menarik hati calon penumpang adalah hal positif, menurut hemat saya. Ketimbang berkompetisi salip-menyalip yang membahayakan pengguna jalan, tentu lebih elok berkompetisi dengan kreasi saja. Saya tentu tidak menutup mata dengan kemungkinan fakta bahwa angkot di Kota Padang juga ugal-ugalan seperti halnya ibukota. Tetapi kemampuan dan kemauan kreasi supir angkot Padang yang berbeda sangat pantas diapresiasi. Alat pariwisata yang sederhana, namun cukup meninggalkan kesan unik di hati seseorang yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di Kota Padang. Once again, a great way to amaze myself….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline