Aku bersama dua orang temanku mendapat kesempatan piknik ke Singapura, Jumat, 21 Februari 2014. Kami berangkat dari Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sebelum ke Singapura kami tinggal beberapa hari di Batam karena menghadiri beberapa acara, termasuk pertemuan dengan sanak famili. Setelah menyelesaikan acara-acara tersebut, Jumat pagi pukul 07.00 WIB kami naik kapal ferry Batam Fast dariPelabuhan Batam Centre menuju ke Singapura.Sepanjangperjalanan kami ngobrol ngalor ngidul.
Di Pelabuhan Harbour Front. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Sekitar 45 menit kami tiba di Pelabuhan Harbour Front, Singapura. Kami mendapat pelayanan yang ramah dariseorang petugas imigrasi, dan dia berpesan agar kami banyak berbelanja sebanyak-banyaknya di negeri singa itu. Ini adalah kunjunganku yang keempat kalinya ke Singapura. Sebelumnya aku ke Singapura tahun 2005, 2006, dan 2011.
Salah satu tujuan utama kami adalah bersilaturahmi dengan Tong Djoe, konglomerat Singapura yang kelahiran Indonesia.Sebelum ke Singapura seorang temanku telah beberapa kali menelepon Tong Djoe. Temanku adalah sahabatseorang anak Tong Djoe. Dari Harbour Front aku dan dua temanku naik MRT (Mass Rapid Transit) menuju ke kediaman Tong Djoe di 70 Anson Road #27-00.Alamat tersebut ternyata alamat gedungHub Synergy Pointmilik Tong Djoe yang terdiri dari 27 lantai. Di lantai 27 itulah Tong Djoe dan keluarganya tinggal. Tong Djoe menyambut hangat kedatangan kami, dan kami mengobrol di ruang kerjanya.
Penulis dan Tong Djoe. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Tong Djoe kelahiran tahun 1927, dan penampilannya masih segar. Dalam usianya yang senja itu Tong Djoe masih gesit bekerja. Dia punya andil dalam membuka kembali hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Selain itu sejak zaman Presiden Soekarno hingga kini pengusaha kapal ini berperan menciptakan jalinan usaha bisnis antara pengusaha Indonesia dan RRT. Karena perannya yang besar dalam memulihkan hubungan diplomatik Indonesia denganTiongkok, Tong Djoe mendapat penghargaan Bintang Jasa Pratama pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie tahun 1998.
Pria yang ramah ini kolektor barang-barang antik berupa lukisan, mebel, keramik, batu giok. Tong Djoe mengajak aku dan dua temanku berkeliling di lantai 27 untuk melihat barang-barang antiknya yang terawat dengan baik. Ketika tiba di sebuah kamar yang terdapat dua buah tempat tidur, Tong Djoe menawari kami agar menginap di kamar itu. “Tidak perlu nginap di hotel,” katanya.Kami menolak halus tawarannya, karena kami tidak punya rencana menginap di Singapura.
Restoran muslim di kawasan Bedok. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Sekitar dua jam kami berada di kediaman Tong Djoe, lalu pamitan. Selanjutnya kami menuju ke Bedok dengan naik MRT dan dilanjutkan naik taksi.Seorang temanku punya tante yang memiliki warung makan di Bedok. Kami disuguhi roti jala. Rasanya? Wah, sungguh nikmat. Hampir sejam kami berada di warung makan milik tante temanku, lalu melanjutkan perjalanan ke Orchard Road untuk sholat Jumat di Masjid Al-Falah. Sengaja aku mengajak kedua temanku sholat di masjid yang terletak di jantung kota Singapura tersebut, karena aku ada janji bertemu dengan seorang teman perempuan yang kukenal lewat facebook.
Menikmati roti jala. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Perempuan yang kumaksud adalah Endang Sri Loveryrahman. Beberapa teman yang sering memelototi foto-foto Endang Sri Loveryrahman di facebook berseloroh, bahwa Endang seperti bidadari. Aku sendiri sering memperhatikan foto-fotonya yang bervariasi. Aku belum pernah bertemu dengan Endang, namun kami sering berkomunikasi lewat facebook. Siapa sih si Endang? Dia lulusan SMEAN Poncowati, Desa Poncowati, Kecamatan Terusan Nunyai, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, tahun 1994. Kebetulan aku juga pernah bersekolah di Desa Poncowati. Aku lulusan SMAN Poncowati tahun 1985.
Penulis bersama Endang Sri Loveryrahman. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Setelahtamat SMEA, Endang merantau keBatam, dan bekerja di koranBatam Pos. Selanjutnya dia menikah dengan Mohamad Salman, warga negara Singapura. Endang yang telah menjadi warga negara Singapura menetap di Singapura bersama suami dan anak-anaknya. Di negeri singa itu Endangbekerja di sebuah perusahaan swasta yang berjualan tiketMRT, sedangkan suaminya bekerja di sektor transportasi.
Beberapa hari sebelum ke Singapura aku memberitahu Endang tentang rencanaku ke Singapura. Endang senang dan berupaya menemuiku. Seusai sholat Jumat aku kirim SMS ke Endang yang isinya meminta dia menemuiku di depan Masjid Al-Falah. Endang menjawab sebaiknya kami bertemu di depan kios es krim di Lucky Plaza, tak jauh dariOrchad Road. Oke, aku menuruti kemauannya. Sekitar sejam menunggu, akhirnya sang bidadari muncul sambil membawa coklat. Aku memperkenalkan Endang kepada kedua temanku. Lalu kami berkenalan dan ngobrol sambil berjalan menuju ke tempat kerjanya. “Sorry banget nggak bisa nemenin jalan-jalan, karena aku kerja,” katanya dengan logat Melayu.
Benar dugaanku, Endang ternyata bersifat terbuka dan ramah. Sekitar 20 menit berjalan, kami tiba di depan kantornya di Orchard MRT Station. Kami pun berpisah. Pertemuan singkat yang sungguh mengesankan.
Di depan Gedung The MacDonald House. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Dari Orchard MRT Stationaku dan kedua temanku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke GedungThe MacDonald House yang terletak di Orchard Road.Gedung ini yang dulu dibom oleh Usman dan Harun, anggota satuan elite KKO, tahun 1965. Mereka tertangkap, lalu dieksekusi dengan cara digantung pada 17 Oktober 1968. Digantungnya dua prajurit TNI AL itu membuat rakyat Indonesia marah. Rakyat menuntut agar Presiden Soeharto menyatakan perang terhadap Singapura. Dalam buku “Singapura Basis Israel Asia Tenggara” ditulis: "Kala itu bahkan terdengar suara bahwa KKO sudah siap menyerang Singapura dan dalam tempo dua jam sanggup menenggelamkan negara kecil tersebut ke dasar Selat Malaka". Ancaman KKO tersebut bukan gertakan semata. Saat itu, kekuatan armada perang Republik Indonesia warisan Presiden Soekarno sangat ditakuti di Asia Tenggara.
"Australia pun kecut untuk berbuat macam-macam dengan Indonesia. Soekarno telah mewariskan armada perang yang kuat kepada Soeharto," demikian tulis buku itu dalam Bab IV: Moncong Meriam di Jidat Indonesia.
Tetapi, sayang sekali, Soeharto yang baru memimpin republik ini tidak berani menyatakan perang dengan negara yang luasnya tidak lebih dari dua kali Kabupaten Karawang itu. Oleh Soeharto, keduanya langsung diberi gelar pahlawan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.Untuk menghargai jasa Usman dan Harun, tahun 2014 TNI AL memberi nama kapal perang Indonesia dengan nama Usman Harun.
Setelah cukup puas berfoto ria di depan Gedung The MacDonald House, aku mengajak kedua temanku ke pusat perbelanjaan MustafaCentre diSyed Alwi Road. Kami mendatangi beberapa toko dan membeli suvenir.
Di MustafaCentre. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Tak terasa waktu telah sore. Seorang temanku berbisik,”Sekarang kita ke Merlion Park.” Kami bertiga naik MRT, dan melanjutkan perjalanan ke Merlion Park dengan berjalan kaki. Banyak wisatawan yang berada di Merlion Park. Para wisatawan dengan penuh kegembiraan berfoto dengan latar belakang patung singa itu. Selain itu tak sedikit yang berfoto dengan latar belakang gedung perahu yang di kawasan Merlion Park.
Di Merlion Park. (Foto: dokumen pribadi Arif RH).
Sekitar dua jam aku dan teman-teman berada di Merlion Park, lalu naik taksi menuju ke Pelabuhan Harbour Front. Selanjutnya naik kapal Batam Fast menuju ke Batam. Alhamdulillah, perjalanan ke Pelabuhan Batam Centre berjalan lancar. Kami menginap di hotel yang persis berada di samping Pelabuhan Batam Centre. Keesokan harinya, Sabtu (22/2/2014) kami kembali ke Jakarta.