Aku bertemu Khidir di pertemuan sungai dan laut. Rawa di bawah jembatan tua berkarat, tempat menyeberang orang-orang diabaikan.
Khidir sedang mendirikan rumah dari kayu-kayu lapuk, dengan atap berwarna daun yang murung.
Aku berkata kepada Khidir : "kalau boleh bertanya padamu, aku dibatasp berapa pertanyaan?'
"Dua pertanyaan--dan satu pesan yang akan aku sampaikan kepada yang ada di masa lalumu"
Aku bertanya, "Di mana rumah angin?"
Khidir menjawab : "Rumah angin itu tempat di mana nelayan melayarkan takdirnya, dengan perahu waktu, sehingga tubuhnya berbau buih ikan,--sambil selalu menggengam kompas bintang di hati."
Pertanyaan kedua, "Di mana aku bisa menemukan surga?"
Khidir menjawab : "Pada tempat yang paling gelap, di sebuah ruang di mana setiap saat kau teringat sekaligus kau melupakannya--di ruang nurani, dimana diri sejati selalu berada."
"Waktu sudah habis," kata Khidir, "Aku harus kembali merawat kenangan yang terluka. Apa pesanmu?"
Aku menjawab : " Tolong sampaikan kepada Musa, untuk meminjamkan tongkat kepada Firaun, agar ia tidak tenggelam dan terkubur di laut, dan kita, di bawah langit ini, bisa mengetahui sebenar-benar arti kata memaafkan".
Arif Gumantia