Seperti membeli kucing dalam karung merupakan pribahasa yang cocok digunakan dalam menggambarkan pemilihan legislatif (pileg).
Pemilihan Umum merupakan sarana demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan karyat. Pemilihan Umum penting untuk diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia, karena karyat memiliki hak dalam menentukan perwakilan mereka di parlemen.
Rakyat memiliki kriteria sendiri dalam menentukan pilihannya, agar tidak merugikan mereka sendiri. Caleg yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan sikap spiritual yang baik merupakan hal paling utama yang menjadi pertimbangan masyarakat. Namun apa jadinya jika pilihan yang ditentukan malah merugikan mereka sendiri? Segala aspirasi yang disampaikan tidak dipertimbangkan dengan baik malah membuat keputusan yang tidak menguntungkan rakyat. Lantas apakah hal tersebut merupakan kesalahan yang fatal?
Perlu diketahui, mayoritas rakyat nayatanya tidak mengenali siapa calon legislatif (caleg) di DPR, DPRD, maupun DPD yang ada di daerah pemilihannya. Rakyat pun dengan terpaksa memilih caleg yang tidak mereka ketahui latar belakang dan rekam jejak di dunia politik.
Hal ini pun terjustifikasi salah satunya oleh Line Indonesia melalui Line Today yang baru-baru ini merilis hasil survei yang diikuti oleh 33.265 responden. Hasilnya, 80 persen pemilih mengaku tak mengenal para calon legislatifnya.
Hal ini terjadi karena dua sumber utama yang selalu berulang di setiap pagelaran pileg, yakni minimnya informasi para calon serta rendahnya kesadaran publik akan pentingnya peran wakil rakyat di parlemen.
Banyaknya calen yang tidak mau membuka data dirinya yang sangat disayangkan, padahal publik mencari rekam jejak dan data diri melalui keterbukaan media informasi. Data dan informasi mengenai caleg sangat penting bagi pemilih untuk mengenal lebih dekat pada calon, seperti riyawat pendidikan, riwayat pekerjaan, pengalaman organisasi, penghargaan, visi misi, program kerja yang ditawarkan, hingga target yang akan dicapau jika terpilih.
Terlepas dari masalah caleg yang menutup diri, jika kita melihat di website resmi KPU, informasi yang tersedia mengenai caleg pun tidak cukup lengkap sebagai bahan pertimbangan yang komprehensif. ada bagian motivasi, program, dan target, seringkali tidak diisi oleh para caleg. Padahal data tersebut sangat vital sebagai pertimbangan utama pemilih selain data-data yang sifatnya umum.
Selain masalah keterbukaan informasi, kurang pro-aktifnya pemilih untuk mengenali sosok calon wakilnya di parlemen menjadi persoalan tersendiri. Budaya malas mencari tahu berkelindan dengan kesalahan paradigma publik yang memandang pileg tidak lebih penting atau tidak sama pentingnya dengan pilpres.
Masyarakat awam beranggapan bahwa pemilihan caleg dianggap tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam menjalankan pembangunan. Pahadal lembaga tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsi legislasi, representasi, dan kontrol.
Menyinggung soal transparasi, seorang caleg juga dituntut untuk menyadarkan publik mengenai kapabilitas yang mereka miliki dalam mengatasi problematika sosial. Sebab banyak opini yang selama ini muncul pada caleg cukup negatif dan menimbulkan antipati.