Pasien laki-laki berusia mendekati 30 tahun mendatangi ruangan psikologi untuk konseling terhadap permasalahannya. Permasalahan yang ia rasakan adalah kondisi rumah tangga yang ia hadapi seperti sedang ada goncangan.
Ia menceritakan banyak hal bahkan dengan sangat terstruktur. Ia menyampaikan juga dalam bentuk kertas yang sudah ia tuliskan. Tulisan tersebut berisi hal-hal yang ingin ia sampaikan kepada psikolog.
Ia merasa dirinya seperti tidak berarti dan memiliki cara berpikir yang salah hingga merasa selalu melakukan hal yang buruk dan tidak berguna. Perasaan tersebut dirasakannya membuat permasalahan yang ada (bahkan ia rasakan sebagai masalah yang kecil) menjadi besar.
Ia menyampaikan bahwa memiliki suatu trauma karena konflik orangtuanya yang hampir akan bercerai. Akan tetapi setelah di asesmen lebih lanjut, kondisi yang ia miliki belum sampai ke trauma yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Ia masih bisa beraktivitas yang baik dan masih berfungsi secara sosial. tidak ada ingatan berulang, tidak ada mimpi buruk berulang, tidak ada reaksi penghindaran, serta perubahan mood yang berarti. Oleh karena itu, kita bisa skip kondisi trauma.
Pernikahan yang telah ia jalani masih belum lama, kurang dari 2 tahun dan sudah memiliki satu putra. Keluhan yang ia rasakan adalah kondisi rumah tangga yang berkali-kali ada ancaman ke perceraian.
Ia dianggap kurang bisa memiliki peran sebagai suami atau ayah (bagi istri). Ia dituntut untuk menjadi suami seperti pada umumnya. Istri juga kerap menyampaikan bahwa suami (pasien tersebut) bertindak terlalu polos.
Misalnya ketika mengobrol dengan tetangga sering menyampaikan hal yang dianggap (istri) sebagia hal yang tidak penting. Menyampaikan detil terkait proses pembangunan rumah. Hal tersebut dianggap tidak penting (bagi istri) untuk disampaikan ke orang lain.
Hasil pemeriksaan psikologi, pasien tersebut cenderung introvert, kurang peka terhadap respon perasaan orang lain, dan kurang memiliki pertimbangan atas apa yang ia sampaikan kepada orang lain.