Masa pandemi seperti sekarang ini membuat kita mau tidak mau segera melakukan adaptasi dengan kondisi baru. Bagi anak sekolah, harus menyesuaikan diri dengan program pendidikan yang dilaksanakan secara online (daring). Hal tersebut berpengaruh juga dengan kondisi suasana dalam rumah, konsentrasi orang tua bertambah karena membantu anak-anak menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Orang dewasa yang telah bekerja juga mau tidak mau harus menyesuaikan kondisi yang serupa. Biasanya pekerjaan diselesaikan di kantor, harus diselesaikan juga di dalam rumah terkait peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mencegah semakin tersebarnya virus yang sangat meresahkan kita semua.
Perubahan aktivitas yang membuat kita mau tidak mau harus beradaptasi dengan kondisi baru, membuat kita canggung bahkan membenci situasi tersebut. Hasil pemeriksaan secara swaperiksa di situs PDSKJI.org yang merupakan situs resmi Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia menyusun instrumen untuk mengukur kondisi psikologis masyarakat selama masa pandemi ini. hasil 182 orang melakukan swaperiksa, didapat hasil 80% orang mengalami gejala stres pasca trauma karena menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait Covid-19. Kondisi tersebut tampak dari perasaan berjaran dan terpisah dari orang lain serta merasa terus waspada, berhati-hati dan berjaga-jaga.
Masih di situs yang sama (PDSKJI.org), ada 1522 responden melakukan swaperiksa dengan menggunakan 3 instrumen, yakni GAD, PHQ, dan PCL-C. Responden-responden tersebut berada di rentang usia 14 tahun hingga 71 tahun dengan 76,1% responden adalah wanita. Sebanyak 64,3% responden memiliki masalah psikologis berupa cemas dan depresi. Gejala cemas diantaranya adalah khawatir tentang hal buruk akan terjadi secara berlebihan, mudah marah atau jengkel dan sulit untuk bersantai. Gejala depresi yang muncul biasanya berupa gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah dan kurang bertenaga, serta kehilangan minat.
Data dari swaperiksa di situs resmi Persatuan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia sebanyak 4010 responden menunjukkan 1 dari 5 orang memiliki pemikiran bahwa mati lebih baik. 4010 responden, 62% memiliki kondisi depresi dan 44% orang berpikir ingin melukai diri sendiri bahkan berpikiran bahwa mati akan membuat kondisi menjadi lebih baik. Pikiran kematian terbanyak berada pada rentang usia 18-29 tahun. Sejalan dengan data penelitian tersebut, pasien yang datang ke bagian Klinik Psikologi Klinis juga menunjukkan hal tersebut. Sebagai perbandingan, 3 dari 5 pasien mengeluhkan tentang pikiran untuk bunuh diri atau melukai diri sendiri. Permasalahan ini merupakan kondisi yang serius dan harus menjadi perhatian kita semua. Tanda-tanda orang yang mengalami depresi dapat kita amati. Kita perlu tanggap akan tanda-tanda tersebut. berikut akan kita uraikan 11 hal terkait bunuh diri :
1. Orang yang akan melakukan bunuh diri akan menunjukkan peringatan tertentu. Peringatan tersebut dapat berupa kondisi tubuh yang lemah dan kurang berdaya selama kurang lebih dua minggu, kurang memiliki minat untuk beraktivitas, serta menunjukkan kesedihan yang mendalam.
2. Berpikiran bahwa kematian dianggap sebagai solusi pereda sakit. Orang yang memiliki pikiran untuk bunuh diri merasakan sakit secara psikis secara mendalam. Ketika kondisi psikis yang dirasakan begitu membuat sesak, kondisi fisikpun juga akan berpengaruh. Beberapa diantaranya merasakan dada yang sesak atau bisa berupa sakit kepala. Ia merasakan keluhan fisiknya tersebut sudah tidak ada penawarnya, selain dengan melakukan bunuh diri.
3. Orang yang akan melakukan bunuh diri sebenarnya ingin mendapatkan bantuan terkait permasalahan hidupnya tersebut, akan tetapi tidak semua mampu mengungkapkan kepada orang lain, atau merasa belum menemukan orang yang tepat untuk menceritakan permasalahan yang ia dewrita.
4. Keinginan untuk bunuh diri tidak disebabkan oleh makhluk gaib. Beberapa masyarakat menghakimi orang yang memiliki pikiran ingin bunuh diri adalah orang yang sedang kerasukan jin, sehingga perlu pendekatan-pendekatan keagamaan untuk penanganannya. Padahal tidak semua orang mampu diatasi dengan hal tersebut, karena orang yang memiliki keinginan untuk bunuh diri memiliki paparan risiko hidup dengan multifaktor yang rumit.