Lihat ke Halaman Asli

KPK di antara Kuburan dan Istana

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kisruh yang muncul dalam kemelut KPK itu, semakin hari menunjukkan perkembangan yang sangat mencengangkan, apakah kita tercengang untuk gembira, gelisah, geram ataukah menjadi semacam ketakutan yang luar biasa. Perkembangan terbaru adalah terkuaknya rekaman dengan implikasi kriminalisasi KPK dan dua pimpinan nonaktif KPK sudah ditahan. Kedua masalah terakhir ini, sudah memunculkan riak dan respon masyarakat yang luar biasa. Saya jadi bertanya-tanya kok prihatin itu baru membludak ya? Ataukah mungkin timing, baru dianggap tepat?

Kriminalisasi KPK memang bisa saja dianggap sebuah scenario penghancuran KPK ataukah kriminalisasi terhadap orang-orang yang ada di dalam KPK-seperti dua pimpinan nonaktif itu? Dari kaca mata politik saya, bukanlah KPK yang akan dibrangus dan sepak terjangnya dalam pemberantasan korupsi, tetapi lebih pada oknum yang ada dalam tubuh KPK yang akan dihentikan aktivitasnya yang berhubungan dengan KPK. Karena resiko yang sangat besar, ketika KPK yang akan dihapuskan. Scenario ini memang hampir mencapai endingnya

Mengapa dua pimpinan nonaktif KPK yang harus jadi tumbal? Karena lebih baik mengorbankan orang ketimbang lembaga, apalagi lembaga sangat terhormat seperti KPK. Secara sederhana bisa dikatakan bahwadua pimpinan KPK ini memiliki sasaran tembak yang kebetulan juga sangat di sayang oleh yang punya negeri ini. Persoalannya adalah ketika sasaran tembak KPK ini mengenai sasaran, maka yang tertembak itu, bisa saja mengantar banyak orang lainnya jadi sasaran tembak juga. Bahkan mungkin saja mengacaukan negeri ini. Secara politik, dua pimpinan nonaktif KPK ini memang salah, karena mencoba menyentuh wilayah yang berhubungan erat dengan kesuksesan yang punya negeri ini. Ya jadi tumbal kan?

Dua pimpinan nonaktif KPK ini memang harus diamputasi atau cepat tangkal, pendekatannya se segera mungkin. Sewaktu mengamati sasaran tembak yang kebetulan orang sangat penting, dua pimpinan KPK ini langsung nonaktif, dan ketika keluarkan senjata pemungkas yaitu rekaman, maka di perjaralah keduanya. Ya memang sepertinya dua pimpinan nonaktif KPK ini tidak ngerti politik. Pendekatan yang dipakai dua pimpinan nonaktif KPK , adalah murni pendekatan hukum, profesionalisme di bidangnya. Tapi mereka lupa bahwa di negeri ini, penyelesaian politik lebih ampuh di banding penyelesaian hukum. Seharusnya dua pimpinan nonaktif KPK ini, sebelum menentukan sasaran tembak, pamit dulu dong sama yang punya negeri ini. Kalau tidak, seperti inilah kejadiannya.

Dalam pandangan politik, dua pimpinan nonaktif KPK ini, cepat atau lambat akan terjerat hukum dari tekanan politik, sehingga akan menikmati ruangan penjara cukup lama, sampai keduanya dianggap tidak berbahaya lagi secara politik. Mengenai dakwaan yang menjeratnya nanti, kalau tekanan politik yang main,pasti akan ditemukan dakwaan yang pantas, baik menurut hukum maupun public. Apakah dakwaan itu benar atau tidak, itu hanya hanya menurut kacamata hukum saja, sedang dari kacamata politik semua bisa kan?

Untuk memasuki ending scenario, maka pihak Polri harus bersiap jadi tumbal juga, karena untuk keseimbangan image public, harus ada juga orang pentingnya yang dikorbankan, persoalan siapa oknum dalam tubuh Polri yang akan dikorbankan, nanti masalah politik yang menakarnya.Setelah itu KPK akan menelan korban juga, yaitu khususnya orang-orang penting juga, tentunya setelah daftar orang-orang bermasalah dengan korupsi diperhadapkan dulu sama big boss, takutnya nanti salah sasaran juga. Sehingga pencitraan KPK bisa kembali sekaligus yang punya negeri ini. Jadilah, pada satu sisi KPK masuk istana lagi, dan dua pimpinan nonaktif KPK menemukan kuburan profesionalismenya di penjara.

Jadi para pembaca, jangan sampai lupa, bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia adalah sebuah proyek politik, bukanlah proyek kemakmuran rakyat. Negeri ini sepertinya tidak butuh konsistensi hukum, tetapi lebih pada loyalitas politik. Siapa yang sanggup menghamba kepada penguasa politik, walau dia bermasalah secara hukum,maka selamatlah dia, siapa yang berani melawan penguasa politik, bahkan mencolek saja, maka hancurlah dia. Inilah negeri impian para penguasa politik. Semoga bermamfaat

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline