Lihat ke Halaman Asli

Mengungsi Ibarat Berhijrah

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lava telah menerjang daerah sekitar gunung akibat aktivitas letusan merapi di Jawa Tengah. Sejak peristiwa 26 Oktober 2010 lalu, seperti membuka mata dunia bahwa sesuatu/gunung yang awalnya diam, ternyata dengan Kekuasaan-Nya, Allah Sang Penguasa alam berkehendak “menggeliatkannya” kembali. Pemukiman, pekarangan, kebun, sawah, hutan, sungai luluh lantak diserbu lava panas dan diramaikan pula oleh guyuran abu putih vulkanik. Korbanpun berjatuhan, dalam peristiwa yang terjadi hanya dalam hitungan detik itu. Penduduk setempat berusaha menyelamatkan diri dengan harta berupa baju yang menempel di badan mereka dengan kendaraan seadanya (motor, mobil, truk TNI, bahkan jalan kaki). Suasana ini mengingatkan kita terhadap peristiwa hijrah Sahabat Radhiyallahu`ahum Rasulullah SAW, masa awal dakwah Islam terdahulu.

Makna hijrah kala itu bukan sekadar mengabaikan kepentingan, mengorbankan harta benda, dan menyelamatkan diri semata setelah hak umat Islam banyak dirampas. Tapi mereka bisa saja mengalami kebinasaan pada permulaan atau pada akhir hijrah itu. Hijrah juga menggambarkan sebuah perjalanan masa depan yang serba mengambang, tidak diketahui apa duka dan lara yang akan menyusul di kemudian hari.

Jika sedemikian agungnya persamaan mengungsi dengan hijrah (bedanya, tujuan mengungsi “sekadar” untuk menyelamatkan nyawa sedang orientasi hijrah adalah menyelamatkan Islam agar tetap bersama nyawa para Shahabat), semestinya para pengungsi menyadari betapa Allah masih sayang kepada kita, masih berkenan memberikan keselamatan, panjang umur, dan tentu hidayah Islam yang masih bersama nyawa kita saat ini. Mari kembali kepada-Nya; bertaubat atas segala dosa dan beribadah dengan sungguh-sungguh tanpa mengurangi sedikitpun rasa syukur kepada-Nya.

Setiap ujian yang melanda seorang muslim niscaya menjadi sarana penggugur dosa, selama dia meninggalkan apa yang menjadi larangan Allah dan tetap menunaikan apa yang menjadi perintah-Nya. Mari tetap mendirikan sholat fardhu lima waktu, membaca Al-Qur`an, berdzikir, berpuasa sunnah Arafah (9/ 10 Dzulhijjah), bertahajjud, saling meringankan beban, membantu dan berbagi dengan yang lain. Jadikan setiap ujian dan musibah yang melanda, sebagai jalan untuk kita lebih mendekat kepada Allah, Sang Penggenggam alam raya ini.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami beriman”, sedangkan mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 1-2)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline