Versi PDF download di sini
“Kau masih yang pertama dan terakhir semenjak enam tahun yang lalu.”
“Kenapa Ta? Apa kau masih mengharapkan pria yang sekarang sudah berkeluarga ini untuk kembali bersamamu? Lihatlah bocah berpipi merah yang memegang es krim itu! Dia sangat lucu bukan? Apa kau tega merebutku darinya?”
“Kau ini masih sama seperti dulu Zidan. Terlalu berlebihan. Kita hanya kebetulan bertemu hari ini.” Areta tersenyum kecut sembari merapikan tiga plastik belanjanya.
“Segera menikah dengan pria yang lebih baik dari aku Areta. Lupakan kejadian tiga tahun bersamaku! Kau berhak mendapatkan masa depan yang lebih indah.”
“Kau tak perlu mengkhawatirkan masa depanku Zidan. Kita sudah punya kehidupan masing-masing. Berbahagialah bersama istrimu! Tak sedikit pun aku berniat mengganggumu.”
Areta membuka pintu taxi online yang ia pesan. Pelan-pelan mobil itu mulai berlaju. Melalui spion kanannya ia melihat Zidan masih berdiri di tengah parkiran pusat pembelanjaan sembari menyaksikan kepergiannya.
***
Areta melihat jam digital di layar smartphonenya yang menunjukkan pukul 12.25 a.m. Ia membuka tautan Zoom yang dibagikan ketua kelas di grup Whatsapp. Sembari menunggu Zoom terbuka dengan sempurna, ia merapikan lipatan kerudungnya dan memastikan penampilannya sudah baik. Seperti biasa, ia menjadi orang pertama yang berada di kelas Zoom.
Sembari menunggu kelas dimulai, lima menit lagi, ia memasang smartphonenya pada tripod hitam yang kemarin diantar kurir sampai ke pintu rumahnya. Sesekali ia membuka kamera untuk memastikan semuanya terlihat sebaik mungkin.