Virus COVID-19 merupakan sebuah virus yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut yang parah coronavirus 2 (Sars-CoV-2) (Shi et al., 2020). Virus ini pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China yang kemudian dengan cepat menyebar ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Untuk memutus rantai penyebaran virus ini, pemerintah telah memberlakukan berbagai macam kebijakan. Salah satunya adalah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), meskipun penamaan kebijakan ini kerap dilakukan perubahan, tetapi tujuannya tetap sama, yaitu mengurangi penyebaran virus COVID-19.
Pemberlakuan kebijakan PSBB memberikan dampak pada berbagai aspek sosial yang ada, salah satunya aspek pendidikan. Kebijakan yang diambil pada sektor ini adalah pembelajaran tatap muka diubah menjadi pembelajaran daring.
Perubahan mendadak dari proses pembelajaran tatap muka antara tenaga pendidik dan peserta didik menjadi pembelajaran daring telah memaksa seluruh siswa dan guru untuk terbiasa dan mampu menggunakan teknologi, seperti internet, gawai, dan laptop. Namun, gangguan terhadap sistem pendidikan konvensional telah merugikan peserta didik yang berasal dari keluarga prasejahtera dan yang berada di daerah pedesaan (Azzahra, 2020). Dalam keadaan normal pun para peserta didik tersebut telah menghadapi berbagai macam hambatan untuk mengakses pendidikan, sekarang di masa pandemi ini mereka perlu menghadai hambatan lainnya yang muncul akibat ketidaksetaraan dalam hal mengakses infrastruktur teknologi (Azzahra, 2020)
Dalam proses pembelajaran daring kendala jaringan internet menjadi salah satu hambatan. Hal itu disebabkan oleh adanya kesenjangan digital antar wilayah di Indonesia. Istilah Kesenjangan Digital mengacu pada suatu gap antara individu, rumah tangga, bisnis, dan area geografis dalam perbedaan tingkat sosio-ekonomi terhadap kesempatan untuk mengakses teknologi informasi dan komunikasi serta akses terhadap penggunaan internet dalam aktivitas sehari-hari (OEDC, 2001)
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kemendikbud, kendala utama pembelajaran daring yang dilakukan oleh perguruan tinggi adalah masalah jaringan internet (Pendidikan Tinggi, 2020). Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) pusat pada tahun 2019, terdapat kesenjangan proporsi individu yang menggunakan internet di perkotaan dan perdesaan. Pada tahun 2019, jumlah individu yang menggunakan internet di perkotaan mencapai 58.59%, sedangkan jumlah individu di perdesaan hanya mencapai 33.84%. Dengan topografi yang beragam dan kepadatan penduduk yang beragam pula, di mana 10.500 atau 40% penduduknya tinggal di pedesaan yang jarang penduduknya, hal tersebut memberikan sebuah tantangan besar bagi operator jaringan seluler yang ada di Indonesia saat mencoba untuk memperluas serta mempertahankan jaringan yang andal (Khatri,H. 2019).
Sebuah penelitan yang dilakukan oleh Opensignal ditemukan, bahwa meskipun jaringan 4G mendekati tingkat yang hampir ada di mana-mana, masih terdapat kesenjangan konektivitas antara daerah pedesaan yang jarang peduduknya dengan daerah perkotaan yang padat penduduknya (Khatri, H. 2019). Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa kesenjangan digital masyarakat pedesaan dan perkotaan di Indonesia benar adanya. Ketidakmerataan tersebut tentunya menjadi kendala besar dalam proses pembelajaran daring yang mengandalkan koneksi internet. Hal ini tentunya harus menjadi fokus perhatian pemerintah untuk dapat memperluas akses internet supaya kesenjangan digital di antara masyarakat pedesaan dan perkotaan dapat dikurangi.
Proses pembelajaran daring akan terasa lebih mudah bagi keluarga yang secara finansial mampu untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur teknologi yang digunakan dalam proses pembelajaran daring. Pembelajaran daring tidak hanya menjadi masalah bagi masyarakat desa yang selama ini dianggap minim terhadap askes fasilitas serta sarana dan prasarana (Rahmawaiti & Solina, 2020). Bagi keluarga miskin yang berada di perkotaan, pembelajaran daring mengharuskan mereka untuk memenuhi segala kebutuhan pembelajaran daring, seperti gawai dan internet, hal ini bertujuan supaya proses pembelajaran daring tetap terlaksana (Rahmawati & Solina, 2020).
Kendala pembelajaran daring bagi keluarga prasejahtera adalah tidak mudahnya akses pada infrastruktur teknologi yang dapat menunjang proses pembelajaran daring. Gawai dan kuota merupakan masalah baru yang harus dihadapi oleh para keluarga prasejahtera yang anak-anaknya harus melakukan pembelajaran daring. Dalam kondisi serba sulit seperti saat ini, tentunya pembelajaran daring menambah pengeluaran bagi keluarga prasejahtera. Dengan demikian, diperlukan bantuan nyata baik dari sektor pemerintah maupun swasta dalam menunjang kelancaran proses belajar-mengajar.
Dalam kondisi seperti saat ini pun, pendidikan tidak boleh dilupakan karena Pendidikan adalah hak setiap bangsa. Dengan demikian, saran yang dapat penulis berikan dalam mengatasi permasalah ini, antara lain :
- Pemerintah dapat memberikan bantuan kuota secara merata bagi mereka yang membutuhkan, tanpa melalui prosedur yang rumit
- Pemerintah bersama operator jaringan seluler bekerja sama untuk memberikan kemudahan akses bagi masyarakat pedesaan
- Proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menggunakan teknologi lain yang lebih mudah diakses bagi seluruh peserta didik dan tenaga pendidik, seperti radio atau televisi.
Penulis 1 : Arie Surya Gutama - arie@unpad.ac.id