No 28 : Arif Wibowo
Tengah malam aku terbangun. Tenggorokan serasa kering, haus. Aku lupa menaruh air putih di dalam kamar. Aku keluar kamar menuju dapur. Aku lihat lampu ruang tengah tempat aku dan teman – teman kos menonton televisi sudah padam. Kamar – kamar kos sepi, teman – teman pasti sudah dibuai mimpi semua. Segera aku percepat langkah kakiku ke dapur, segelas air putih dingin aku ambil dari dispenser aku bawa ke kamarku.
Segarnya air putih dingin yang menyiram tenggorokanku membuat mataku berbinar terang. Tiba – tiba mataku tertuju pada sebuah amplop ukuran tanggung warna coklat yang tergeletak di meja belajarku. Amplop itu masih tertutup rapat.
***
Liburan semesteran lalu aku pulang ke kota kelahiranku. Sebagai seorang anak kampung yang mendapat keberuntungan bisa kuliah di ibu kota adalah sebuah kebanggaan tiada tara. Maka kesempatan liburan semesteran itu aku pergunakan sebaik – baiknya. Aku kunjungi teman – teman lamaku yang tinggal di kota kelahiranku. Mulai dari teman TK, SD, SMP sampai SMA. Kami saling bertukar cerita. Saling membanggakan tempat kami kuliah. Kadang dilebih – lebihkan.
Pada malam terakhir liburan, aku dan beberapa teman lesehan wedangan di sebuah angkringan di tepi jalan protokol. Angkringan tersebut sangat terkenal, banyak sekali penikmat wedangan yang berkunjung ke angkringan tersebut. Ketika kami sedang menikmati hidangan yang kita pesan, aku mendengar suara gayeng dari penikmat wedangan di sebelah kami. Dibawah temaram lampu jalanan, aku lihat ada seorang perempuan yang menjadi episentrum dari kegayengan rombongan sebelah. Seorang perempuan dengan rambut poni yang dikepang dua. Gaya bicaranya cepat, tegas, njawani, dan lucu.
“Nur....Nur?”
Perempuan itu langsung diam dan mengarahkan pandangan ke arah datangnya panggilan itu. Aku melihat sepasang mata bulat lucu menatap tajam ke arah datangnya panggilan itu. Mulutku.
“Wo...Kowe Wo?”
“Pangling ya?”