Lihat ke Halaman Asli

Menyikapi Keberadaan Fakultas Kedokteran “Abal-abal”

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Beberapa waktu lalu, di kompasiana dipublish tulisan yang cukup provokatif dengan judul “Fakultas Kedokteran Abal-abal”. Saya yakin, pengelola dan alumni ataupun mahasiswa dari fakultas kedokteran yang disebut akan tersinggung dan seharusnya memang tersinggung. Tersinggung dalam artian menganggap tulisan tersebut sebagai auto-critic terhadap institusi yang dikatakan abal-abal tadi. Bukan sebaliknya marah-marah, berkomentar kanan kiri, menyalahkan penulis atau bahkan menyebut tulisah tersebut hoaks, jika itu terjadi maka hal tersebut sebenarnya semakin memperjelas bahwa memang predikat abal-abal memang benar adanya. Setidaknya secara emosional sikap ini adalah sikap “abal-abal” yang berupa pembelaan yang membabi buta.

Sekedar menekankan, tulisan tersebut jelas sumbernya adalah Badan Akreditasi Perguruan Tinggi. Sebuah badan resmi pemerintah yang menilai kinerja perguruan tinggi. Jika dilihat di website resminya, memang hanya 17 Fakultas kedokteran yang mendapat predikat “A” dan 23 FK dengan predikat “B”. pertanyaanya, apakah kemudian akan menganggap website BAN-PT juga Hoaks?

Ketika saya menjadi dokter PTT di Papua, saya pernah berbincang2 dengan penduduk asli papua dan mereka mempertanyakan tentang keberadaan Fakultas Kedokteran di sana. Bahkan salah satu dari mereka nyeletuk “saya kalau mau berobat akan bertanya dulu alumni mana. Kalau dari univ. “itu” saya tidak jadi berobat”.

Mari kita lihat dari sisi positifnya. Bahwa masyakat Indonesia semakin pintar. Kepedulian terhadap kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memadai dan standart sudah menjadi kebutuhan. Akses informasi dan tranportasi serta kemampuan ekonomi menengah yang meningkat membuat mereka semakin leluasa memilih yang terbaik untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Dokter sebagai leader di dunia kesehatan seharusnya bisa menjawab keinginan tersebut dan tentu fakultas kedokteran yang terstandarisasi adalah hal mutlak yang harus dipenuhi karena dari institusi inilah akan dicetak dokter-dokter yang akan berkiprah di dunia kesehatan yg bukan hanya di skala lokal akan tetapi juga global.

Namun yang terjadi adalah akhir2 ini terjadi eufiroa pendirian FK di berbagai daerah dengan dalih pemenuhan kebutuhan tenaga dokter. Dengan deal-deal politik ditambah para pemilik modal maka menjamurlah FK-FK yang sub-standart. Jargon putra daerah menjadi senjata utama untuk memuluskan keinginan tersebut. Tapi bagaimana dengan kualitas putra daerah yang kadang dipaksakan tersebut? Bagaimana kemampuan akademik mereka yang sub-standart kemudian dipaksakan menjadi dokter dengan mendirikan fakultas-fakultas kedokteran didaerah yang skali lagi sub-standart.

Terlebih lagi, institusi keagamaan, yayasan2 swasta yang berdalih kemanusiaan dan dalih2 lain ikut2an rame2 mendirikan fakultas kedokteran. untuk apa? Bukan rahasia lagi, mereka memasang tarif dengan berbagai label uang gedung, uang masuk dll dengan biaya yang tinggi. Yang sepertinya mengesankan bahwa keuntungan yayasan menjadi lebih utama daripada mendidik calon dokter yang mumpuni secara skill, pengetahuan dan attitude. Masyarakatpun mengamini dengan rame-rame memasukkan anaknya dengan alasan “mampu” yang kadang lebih kearah finansial. Kesan yang muncul adalah jika yayasan/daerah punya uang maka bisa mendirikan FK dan jika masyarakat punya uang bisa mendaftarkan anaknya menjadi mahasiswa FK.  Hal ini sebagai alternatif karena tidak diterima di Fakultas kedokteran yang bonafit. Tetapi bagaimana dengan standarisasi seleksi masuk? Bagaimana dengan standarisasi syarat masuk? Silakan mencari informasi sendiri dan silakan berkomentar.

Saya termasuk yang sepakat bahwa fakultas kedokteran memang harus berstandart tinggi. Jika perlu, bukan hanya nasional tapi regional atau bahkan mungkin international. Rakyat Indonesia memang membutuhkan kehadiran dokter yang rasionya masih tidak masuk akal. Tapi ini bukan menjadi alasan untuk menjadikan FK lebih berkesan seperti pabrik. Memudahkan pendiriannya, memudahkan seleksi masuknya tanpa kontrol kualitas yang jelas dan kalaupun ada kesannya formalitas dengan tujuan hanya untuk menghasilkan dokter sebanyak2nya tapi ketika dihadapkan ke ujian kompetensi ternyata hasilnya tidak memuaskan. Banyak yang tidak lulus dan tentu saja tidak bisa berpraktek menjadi dokter.

Bahkan terkait lulusan FK, Menkes menyatakan “Kalau berkali-kali para dokter muda itu gagal uji kompetensi, lebih baik mereka jangan dikasih kesempatan untuk pegang pasien. Bisa-bisa pasien jadi mati. Lebih baik mereka menjadi pengusaha atau mencalonkan jadi bupati saja.”

Sikap tegas ini tentu menimbulkan polemik. Bagaimana mereka yang sudah sekian tahun belajar dengan melewati berbagai ujian, begadang, berkorban waktu dan uang kemudian tidak bisa mengamalkan ilmunya karena tidak lulus ujian kompetensi. Yang terjadi kemudian adalah tuntutan penghapusan ujian kompetensi.

Maka skali lagi mari kita berpikir lebih bijak. Bahwa ilmu kedokteran adalah ilmu global yang sudah terstandarisasi. Dan setiap dokter wajib hukumnya memiliki kompetensi untuk menangani pasien seperti yang sudah disepakati. Maka sudah seharusnya, dokter di Indonesia memiliki kemampuan yang sama dan untuk itulah ujian kompetensi dilakukan.

Sekali lagi bahwa munculnya pernyataan Fakultas kedokteran Abal2 harus segera disikapi.

1.Pemerintah melalui kemendiknas harus tegas untuk mengevaluasi dan menertibkan FK yang sub-standart. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak mencapai standart maka seharusnya FK tersebut dihentikan operasionalnya. Dan skaligus mengevaluasi lebih ketat pendirian FK diseluruh Indonesia.

2.Kekurangan kebutuhan dokter di suatu daerah tidak harus diikuti pendirian FK di daerah tersebut. Apalagi ditambah alasan yang terkesan memanjakan putra daerah. Sungguh ini adalah langkah pembodohan opini. Biarkan putra daerah bersaing di tingkat nasional, kalau memang tidak mampu itu berarti daerah tersebut telah gagal menyiapkan putra terbaiknya. Ibarat pepatah kalau pemerintahnya buruk muka, jangan membelah cermin.

3.Masyarakatpun harus lebih bijak. Jangan hanya karena ingin anaknya menjadi dokter, tapi tidak selektif memilih FK. Karena skalipun menjadi mahasiswa FK dan lulus tapi tidak bisa melewati ujian kompetensi, untuk apa?

4.Kebijakan tentang FK pengampu untuk membimbing FK yang baru juga seharusnya dievaluasi. Jangan sampai membiarkan FK pengampu membimbing begitu banyak FK bimbingan. Jelas ini hanya “menyiasati” kebijakan saja yang hasil akhirnya juga kurang maksimal baik bagi tenaga pengajar maupun mahasiswa. Cukup satu FK pengampu untuk satu FK lain.

5.Hentikan politisasi di dunia pendidikan secara umum dan kedokteran khususnya. Jangan hanya menjadi bahan meningkatkan elektabilitas kampanye maupun pemuas pemilik modal tapi justru hasil akhirnya tidak berkesinambungan dan semakin merusak tatanan.

6.Akan lebih baik jika seleksi awal masuk FK yang diperketat tetapi menghasilkan lulusan yang berkualitas daripada membuka kran seluas2nya dengan berbagai dispensasi tapi hasil akhirnya banyak yang tidak terpakai.

7.Kesehatan adalah masalah nasional. Masalah seluruh masyarakat Indonesia. Maka seharusnya praktisi kesehatan terutama dokter harus bekerja dengan skala kemampuan nasional dan berstandart nasional. Oleh karena itu, melokalisir ilmu kedokteran menjadi berskala daerah adalah sebuah musibah. dalih pembukaan fakultas kedokteran di daerah dengan memudahkan putra daerah adalah kemunduran dan pengekangan ilmu dan praktek kedokteran. maka memaksakan pendirian FK yang abal-abal adalah toleransi terhadap standart ilmu yang tidak bisa ditoleransi lagi. Pastinya, ini adalah pembodohan opini para pemangku jabatan terhadap masyarakat.

8.Masalah kesehatan saat ini adalah wewenang pemerintah daerah yang terlalu besar mengintervensi masalah kesehatan sehingga para dokter tidak bisa bekerja sepenuhnya melayani masyarakat karena kasus2 pencopotan jabatan yang disebabkan tidak memiliki visi yang sama dengan kepala daerah, bersikap subyektif dengan mengutamakan putra daerah meskipun kinerjanya kurang apalagi jika kolega atau keluarga pejabat dan ancaman profesi kerap membayangi pelaksanaan ilmu kedokteran. Maka dokter seolah2 lebih menjadi pelayan pemerintah daerah daripada masyarakat. Jadi pendirian FK abal-abal bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah kurangnya dokter di daerah.

Sebagai penutup saya ingin bilang

“Ketika kita senang, bangga dan bersyukur menjadi dokter, maka seharusnya kita tahu bahwa masyarakat yang jauh lebih bersyukur bukan karena kita dokter, tapi karena manfaat kita sebagai dokter.”

wassalam

Arif S

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline