Lihat ke Halaman Asli

Jokowi dan Cara Belajar Kepada Masa Lalu

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada yang masih tertanam di ingatan kita melalui buku sejarah tentang Orde lama, maupun yang kita alami di orde setelahnya, terutama era sekarang, era Jokowi. Ada 2 hal yang menonjol yang akan kita coba kita bandingkan diantara beberapa masa tersebut, yaitu bagaimana cara menangani konflik berkaitan dengan bagaimana pemimpin dilahirkan dan diturunkan.

1. Orde lama menangani konflik dan perbedaan dengan klasifikasi, boleh beda asal setia. Orde ini runtuh karena orang2 yang dianggap setia (komunis) menusuk dari belakang, sedangkan orang yang dianggap tidak setia (Islam) terlanjur dipinggirkan.

2. Orde lama menggantungkan diri dengan rasa revolusi. Rasa kebangsaan & kemerdekaan menjadi kekuatan awal berjalannya pemerintahan yg pertama. Tapi seberapa lama rakyat bisa menahan lapar? generasi sudah berganti, orang-orang tua yang rela lapar asal merdeka, sudah digantikan oleh anak2 muda yang tidak mau lapar.

Hasilnya, Soekarno jatuh seperti hampir tanpa ada kekuatan yang membelanya. Orde baru belajar sebagiannya dari kelemahan tersebut.

1. Orde Baru meminta kesetiaan dengan hitam putih, kamu kawan, atau kamu mati. Tidak boleh diperlihatkan perbedaan sama sekali. Ternyata justru ini membuat sulit mempetakan mana kawan mana lawan, lama kemudian baru terbaca, orang yang dianggap setia diam-diam ingin berkhianat (Benny Moerdani cs). Tidak mau berakhir tanpa kawan seperti pendahulunya, Soeharto buru-buru merangkul Islam, bahkan berusaha menghijaukan tentara. Tapi kaum santri jaga jarak karena terlanjur curiga, sebelumnya terlalu sering dianak tirikan. Jalan satu-satunya untuk turun dengan aman adalah berusaha menaruh orang kepercayaan tetap ada di pemerintahan setelahnya, itu cukup berhasil. Paling tidak, tidak sesengsara Soekarno di akhir hayatnya.

2. Orde Baru tumbuh dari kekuatan dan dukungan barat. Tidak salah jika berpandangan apapun yang terjadi asal lobi kepada barat kuat, semua akan aman. Tapi barat ingin melindungi kepentingannya di indonesia. Melihat Soeharto sudah tua justeru berusaha merangkul Islam, muncul kekuatiran Soeharto memilih pengganti yang anti barat. Sebelum terjadi, Soeharto harus dilengserkan, melalui serangan moneter. Ya, semua seperti rencana, penggantinya orang terdekat, hijau tapi tidak ekstrim, beri hadiah dengan sedikit perbaikan rupiah, Freeport dan tambang-tambang lainnya, setidaknya untuk beberapa puluh tahun lagi.

Sekarang Jokowi, tidak ingin melakukan semua kesalahan yang dilakukan semua pendahulunya, mencoba jurus baru.

1. Jokowi merangkul perbedaan dan menikmati kekeliruan. Membiarkan diri dicaci-maki, itu permainan psikologi emosi ala jawa, menang tanpo ngasorake, menang tanpa mengalahkan. Teknik tarik ulur, hit and run yang ulung, kalau tinju hanya bisa dilakukan Muhammad Ali.

Jokowi yakin, sebagian besar orang setelah dibiarkan mencaci maki menjadi lega jika ditemui, diajak bicara akrab dan sopan, rasa dihargai bisa merubah benci menjadi respek, bahkan cinta.

Jokowi tahu, sehebat apapun presiden tidak akan lebih dari 10 tahun, artinya tidak hebat pun tidak ada ruginya. Salah langkah itu tidak mengapa, karena dari awal berkuasa sudah mencitrakan diri sebagai orang baik, bukan orang hebat. Sebagian besar orang benci kepada politikus cerdas hebat tapi seperti dewa2 di kahyangan. Orang ingin pemimpin yang tampil santai ala wedangan. Jika pun gagal, turunnya pun akan dimaafkan dan diingat sebagai pemimpin yang lebih banyak didholimi daripada mendholimi. Rencana akhir yang sangat lumayan.

2. Jokowi lahir dengan publikasi besar-besaran media, tidak dilahirkan dari gairah revolusi yang kencang seperti Soekarno, tidak juga dengan kekuatan militer seperti Soeharto. Diawal bisa jadi Jokowi masih beranggapan apapun yang terjadi, asal lobi kepada media kuat semua akan aman. Itu terlihat dari langkah-langkah awalnya masih sangat tergantung media.

Konsultan politik Jokowi yakin, ingatan sebagian besar orang pendek, tidak perlu takut berbuat banyak kesalahan, karena yang diperlukan hanya menghapusnya dengan sekali memberi hadiah. Keputusan yang keliru kalau ditayangkan dan ditanamkan berulang ulang bisa berubah menjadi pemakluman, seperti iklan rokok. Kalau masih juga dicaci, tidak emosi kemudian menghadapi dengan frontal, dibiarkan, orang capek lama-lama akan diam. Memadamkan api sesuai asalnya. Bara tidak ditiup seperti lilin, bisa semakin membara. Biarkan saja, akan habis.

Yang perlu dicatat, Jokowi tidak boleh terus menerus menggantungkan diri kepada sebab pemerintahannya lahir, yaitu dana dan media. Jika digunakan terus menerus, akan ada saatnya cara lama menjadi bumerang, seperti yang terjadi pada pendahulu-pendahulunya, yaitu dijatuhkan oleh kekuatan yang melahirkannya.

SBY bisa menjadi contoh positif dalam mengelola konflik, ada satu tahap jokowi tidak hanya berkutat dengan gimmick dalam menyelesaikan konflik antara dirinya dan lawan politiknya, tapi dilihat bagaimana cara mengambil penyelesaian konflik antar anak bangsa, seperti yang harus dilalui semua pemimpin bangsa yang multi segalanya ini. Dia harus belajar banyak kepada kecantikan teknik SBY . Kaum santri, nasionalis, sekuler, bersama-sama mengantarkannya ke padepokan ketika mandhito (pensiun). Semua tidak berselera memusuhinya, bahkan sebagian besarnya merasa SBY lebih baik dalam memperhatikan rakyat kecil daripada pemimpin setelahnya, suatu yang sulit dicapai pemimpin Indonesia setelah menjabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline