Sejak periode pertama Presiden Jokowi hingga tulisan ini dibuat, kekuatan oposisi nyaris punah di negri ini, entah ia dimatikan atau apakah memang demokrasi tidak memerlukan oposisi? Jika pembaca mengafirmasi pertanyaan kedua, maka tak perlu kiranya pembaca melanjutkan perenungan terhadap tulisan saya ini, barangkali pembaca memaknai demokrasi hanya dengan pemilu, seolah-olah kedaulatan rakyat hanya terimplementasi ketika rakyat datang ke tempat pemungutan suara, setelah pemilu semua orang bisa makan, dan menyekolahkan anaknya,tak perlu kritis, tak perlu mengkritik karena tak ada amplop yang masuk kekantong saudara, setelah pemilu selesai usai pulalahtugas kita dalam demokrasi. Patutnya persoalan definisi sudah sampai pada otak kita, minimal kita memahami arti demokrasi yakni demos yang artinya rakyat dan kratos yang artinya kekuasaan, atau jika sudara ingin lebih filosofis maka perkataan Rocky Gerung, bahwa demokrasi adalah pemerintahan akal melalui pemerintahan orang, demokrasi memungkinkan perdebatan intelektual yang sehat yang hasil perdebatannya memungkinkan "wakil rakyat" untuk mengambil arah tujuan pembangunan bangsa yang berlandaskan atas kepentingan rakyat bukan kelompok, keluarga, bahkan partai, oleh sebabnya mereka yang mengemis kepada rakyat tiap lima tahun sekali tugas utama mereka selain membuat kebijakan, ia juga menjadi sarana pendengar rakyat. Menghindari adanya kritik, menghindari adanya pertengkaran intelektual artinya memperkosa demokrasi. Atau jangan-jangan yang seperti ini demokrasi tanpa demos, menggunakan nama rakyat untuk berkuasa tapi menindas rakyat ketika berkuasa, anti kritik dan bahkan mungkin mereka adalah bahaya laten otoriter.
Sekiranya penulis anggap saudara sudah paham mengenai persoalan definisi demokrasi, saat-saat ini seperti yang penulis katakan pada awal kalimat, bahwa kekuatan oposisi nyaris punah di negri ini, hal ini bertentangan jika kita kaitkan dengan definisi demokrasi secara terminologi dan secara filosofi yang kita bahas di awal paragraf, jangan-jangan kita hidup di negara otoriter maupun monarki yang memungkinkan tidak adanya oposisi. Lalu seberapa pentingnya oposisi? oposisi dalam demokrasi sangat penting, ia memainkan mekanisme kontrol dan pengawasan yang ketat terhdapa kebijakan pemerintah. Misalnya saja, jika merujuk Uud 1945 pasal 20A ayat 3 kurang lebih berbunyi "Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas." Secara eksplisit konstitusi telah mengamanahkan tugas tersebut kepada penguasa yang dalam lima tahun sekali mengemis dan bahkan menyogok rakyat dengan uang. Maka jika saudara kelak menjadi wakil rakyat, hak dan perintah konstitusi mesti dijalankan atasnama kepentingan rakyat, konstitusi telah mengamanatkan mekanisme check and balance atau oposisi. Pertanyaanya adalah apakah "wakil rakyat" menggunakan hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat atas nama kepentingan rakyat? dalam soal-soal tertentu pasti iya, tapi dalam soal-soal tertentu juga barangkali hak itu digunakan untuk kepentingan politik balas budi, digunakan untuk kepentingan kelompoknya, partainya, kroninya, bahkan keluarganya. Bukan rahasia lagi bahwa calon-calon penguasa diback-up oleh para pemodal yang jumlahnya hanya 1% di negri ini yang berusaha untuk mempertahankan kekayaannya, oleh karena diback-up maka modal politik tentu mengalir, tentu pula politik balas budi sangat mungkin terjadi melalui korupsi, jual beli undang-undang maupun melalui proyek-proyek yang menguntungkan. Tidak ada calon penguasa yang murni ditentukan oleh hati nurani rakyat, oleh karenanya kebijakan yang mereka buat bukanlah semuanya pro rakyat.
Melanjutkan niat penulis untuk menunjukkan amanah beroposisi atau check and balance dalam demokrasi, Uud 1945 pasal 24C juga memiliki amanah yang sama kurang lebih berbunyi "Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji undang-undang terhadap Uud, menangani sengketa antar lembaga negara dan memutus pembubaran parpol". Mahkamah Konstitusi berperan penting untuk memastikan pemerintah berjalan sesuai konstitusi. Sekiranya penyelewengan amanah Pasal tersebut tak perlu penulis jelaskan, kasusnya baru saja kita alami, bagaimana MK mengangkangi konstitusi. Maka pertanyaan di paragraf pertama dan kedua sudah penulis jawab.
Maka pada kondisi seperti ini, demokrasi telah dibunuh oleh orang yang terpilih melalui proses demokratis yang kemudian menggunakan kekuasaan untuk merusak demokrasi. Oposisi dihilangkan, rakyat dibuat bodoh secara struktural, tidak kritis, rakyat dihibur dengan bantuan-bantuan sosial yang sebenarnya tidak mampu merubah kemiskinan justru membuat rakyat mengemis bansos, sehingga jika sudah demikian penguasa dapat leluasa bersekongkol membuat peraturan ataupun kebijakan untuk menipu rakyat. Sandra politik, politisasi badan negara untuk menggebuk lawan yang dianggap mengusik kekuasaan, represi terhadap mereka yang kritis adalah konsekuensi nyata bagi mereka yang mau beroposisi. Jika resiko itu sudah kita ketahui, apakah oposisi masih kita perlukan? Tentu. Persoalannya bukan tentang resiko, ataupun berapa jumlah kawan yang mau beroposisi, persoalanya adalah apakah kita mau membiarkan kesewenang-wenangan itu terjadi? Adagium KH. Wahab Chasbullah misalnya "Jika tidak ada rotan akarpun jadi" Jika Legislatif, Yudikatif tidak menjalankan amanah Check And Balance, Rakyat pun jadi. Atau kaidah fikih yang berbunyi Ma laa yudraku laa yutraku kulluhu yang artinya "sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan semuanya, bukan berarti harus ditinggalkan seluruhnya."
Momentum kesewenang-wenangan penguasa harusnya kita jadikan momentum bangkitnya kesadaran kritis, atau momentum bangkit dari kuburnya gerakan oposisi. Dulu orang yang doyang mengkritik penguasa selalu di stigmaisasi sebagai "Kadrun", "komunis" bahkan sekarang muncul stigma baru yakni "anak abah" jangan-jangan hegemoni stigmaisasi ini sebenarnya merupakan cara penguasa untuk menidurkan rakyat dalam demokrasi agar tidak ada kekuatan rakyat yang kritis. Biar bagaimanapun tulisan ini hanya berusaha untuk membangkitkan kembali kesadaran pembaca, penulis mengajak pembaca untuk membalas tulisan ini jika sekiranya bertentangan dengan pemahaman saudara. Seperti yang di ucapkan Tan Malaka dalam Madilog Kebenaran selalu bersifat relatif, kebenaran absolut hanya milik tuhan, inilah konsekuensi dari dunia pikiran, pengetahuan baru menimbulkan persoalan yang baru, akan tetapi persoalan baru itu dapat pula terselesaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H