Lihat ke Halaman Asli

Arif Akbar Pradana

Mahasiswa Sejarah Universitas Gadjah Mada

Mahasiswa UGM dan ISI Yogyakarta Menyelenggarakan Pameran Arsip "Baboe" dalam Merdeka Belajar-Kampus Merdeka

Diperbarui: 29 Desember 2021   20:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengunjung menyaksikan Pameran "Baboe" 2021 (Dokpri)

Mahasiswa Institut Seni(ISI) Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada(UGM) menyelenggarakan pameran arsip dalam program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka.  Ialah Blasius Krhisna Kinara sebagai Ketua Pelaksana (Mahasiswa S1 Tata Kelola Seni(TKS) Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta), Desi Sofianti sebagai Art Director (Mahasiswa S1 Seni Murni FSR  ISI Yogyakarta), dan Arif Akbar Pradana(Mahasiswa S1 Sejarah FIB UGM) sebagai kurator yang menjadi aktor-aktor penyelenggaranya.  

Pameran yang telah dilaksanakan mulai tanggal 8-11 Desember 2021 di Asrama Putra Jember Yogyakarta merupakan tugas akhir dari mata kuliah Kurasi Arsip yang diselenggarakan oleh Program Studi S1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Yogyakarta yang bekerja sama dengan Program Studi S1 Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Pameran dibuka oleh Dr. Mikke Susanto, M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah pada 8 Desember lalu.  Adapun pembukaan pameran dimeriahkan oleh grup musik Patrol Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Jember dan dihadiri lebih kurang 35 pengunjung dengan protokol kesehatan pandemi.

Arif Akbar Pradana, kurator dalam pameran ini menerangkan bahwa tema yang diangkat ialah Baboe atau pekerja rumah tangga pada masa lalu.  Alasan dibalik diangkatnya tema ini yakni untuk melihat bagaimana posisi pekerja rumah tangga dalam alam kolonial yang kemudian di diturunkan ke dalam tiga sub kuratorial yaitu fesyen, inferioritas, dan humanisme. 

Menurut Dono, sapaannya, pameran arsip ini bertujuan untuk mencoba menjawab dan merespons wacana abstrak tentang baboe pada khusunya dan arus zaman pada masa kolonialisme pada umumnya.   Sebagai sistem, tidak menafikan bahwa Belanda adalah kolonialis yang mempraktiknya  dominasi, eksploitasi, dan diskriminasi, namun di sisi lain orang-orang Belanda ini juga mengambil posisi sebagai manusia yang mengenal humanisme, hal inilah seyogyanya tidak di-gebyah-uyah.

Riset pameran baboe dilakukan selama 2 bulan yang dimulai dengan pengumpulan sumber data dari  Collectie Nederland: Musea, Monumenten en Archeologie milik Rijksdienst voor het cultureel  Erfgoed, kemudian Ministrie Onderwijs, cultureel, en Wetenschap; 2) Arsip Digital Delpher milik Nationale bibliotheek, dan terakhir  Digital collections of Leiden university libraries.  Sumber data tersebut selanjutnya dilakukan verifikasi, interpretasi, baru kemudian dipungkasi dengan pendisplaian dengan jumlah arsip yang berhasil dikurasi yakni 23 arsip foto, 5 arsip ilustrasi, dan 5 arsip surat kabar.

Menurut salah satu pengunjung, Fairuz Emir Abyan Taqy, pameran baboe ini menarik dan Informatif . 

"meskipun terdengar cukup kasar, babu merupakan sisi lain dari kolonialisme belanda, kedekatan majikan (Belanda) dengan babu menyebabkan terjadinya akulturasi budaya, selain itu terdapat cerita menarik didalamnya", ujarnya.

urut dari kiri: B. Krishna K .D. , Dr. Yohana Ari R., M.Si (Dosen S1 TKS ) dan putra, Dr. Mikke Susanto,M.A. (Kaprodi S1 TKS), A.A.Pradana, Desi S. Dokpri

"hari ini cerita tentang babu itu hampir  tidak ada, cerita tentang pembantu rumah tangga itu kebanyakan tentang stereotip, jadi dari pameran ini banyak hal menarik untuk diperbandingkan", tutur Mikke Susanto.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline