Lihat ke Halaman Asli

Hiperrealitas dan Sosial Media, Kenapa Kita Harus Memisahkan Media dengan Realitas

Diperbarui: 18 Juni 2024   17:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Hiperrealitas merupakan konsep era postmodernisme dimana tidak ada perbatasan antara realitas dan simulasi realitas sehingga susah untuk membedakannya. Konsep ini awalnya dikembangkan oleh Ahli Sosiologi asal Perancis bernama Jean Baudillard.

Konsep ini berawal dari konsep Simulacra yang juga dikembangkan oleh Baudillard, yang dapat didefinisikan sebagai representasi atau duplikasi dari realitas melewati tanda atau gambar. Tanda-tanda dan gambar-gambar ini menjalani beberapa fase evolusi. Berawal dari representasi realitas yang menunjukkan fakta yang sebenarnya, lalu di fase berikutnya mulai menutupi atau salah merepresentasikan realitas, dan pada fase terakhir tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas.

Baudillard membuat argumen bahwa kita menerima sebuah 'peta' dari televisi dan film sebagai realitas yang lebih real daripada realitas yang sebenarnya. Dia mengobservasi bahwa di dalam masyarakat postmodernisme yang mengkonsumsi media berlebihan dimana seseorang hidup di dunia hiperrealitas dengan lebih menghubungkan diri mereka dengan media yang mereka konsumsi seperti acara televisi, music, atau game. Dan di dalam kultur yang didominasi oleh hal-hal tersebut tidak 'kurang' nyata atau 'lebih' nyata dari realitas yang mereka simulasikan.

Seiringnya berjalannya masa dan semakin berkembangnya teknologi, semakin terhubungnya masyarakat dengan media yang mereka konsumsi dan semakin hilangnya batas antara realitas dan media. Salah satu hal yang menjadi kontributor terhadap hal ini adalah social media. Hampir semua orang di dunia menggunakan social media. Kita biasa menggunakannya untuk membuat postingan tentang hidup kita atau melihat postingan orang lain tentang hidup mereka. 

Membuat postingan membentuk gambar dari diri kita sendiri untuk dilihat oleh orang lain, dan mereka dapat menginterpretasikan karakter kita melalui postingan-postingan tersebut meskipun belum tentu sejajar dengan diri kita yang sebenarnya. Sama hal dengan selebritas di social media yang menjadi idola banyak orang meskipun para penggemar tidak mengetahui sifat dan aktivitas yang dilakukan sang idola di belakang panggung. Sehingga banyak orang terkejut ketika panutan mereka melakukan hal yang tidak pantas menjadi contoh.

Hal lain yang memburamkan batas antara realitas dan simulasi realitas di social media adalah persebaran informasi. Masyarakat cenderung langsung menerima informasi mereka secara mentah-mentahan. Mereka sendiri bukan saksi mata dari kejadian, sehingga hanya bisa mendapatkan informasi dari sumber lain. Namun sumber informasi yang mereka dapatkan belum tentu benar. Contohnya, ada berita tentang kereta api yang terbakar dan memakan 12 nyawa, anda yang tidak hadir di tempat kejadian tidak dapat mengetahui kebenaran dari informasi yang disampaikan sehingga anda bisa saja langsung menerima berita tersebut sebagai faktual dan nyata tanpa mengecek sumber-sumber lain untuk mengvalidasi berita tersebut.

Hal ini kenapa kita justru harus mengasingkan kehidupan diri kita sendiri dengan hal-hal yang berada di social media. Kita harus dapat memahami bahwa apa yang ada di beranda kita ketika men-scrolling internet belum tentu benar. Ketika mendapatkan informasi tentang sesuatu yang bukan menjadi saksi mata, kita harus mengecek beberapa sumber informasi tentang hal yang sama demi mengetahui kebenarannya. Dan ketika melihat postingan selebritas, idola, atau panutan, kita harus mengerti bahwa mereka adalah orang asing yang kita sebenarnya tidak kenal secara pribadi.

Secara singkat, hiperrealitas merupakan hilangnya batas antara realitas simulasi realitas. Dalam dunia social media, seseorang dapat membuat gambar dari diri mereka sendiri di mata orang lain yang belum pasti akurat dengan diri mereka yang sebenarnya. Dan juga masyarakat dapat menerima informasi secara mentah-mentahan tanpa mengecek validasi dari informasi tersebut. Sehingga kita harus memisahkan apa yang ditunjukkan di media dengan realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline