Saya termasuk salah seorang yang beruntung mendapatkan beasiswa dari donor lembaga asing untuk memperoleh pendidikan pasca sarjana di luar negeri. Memang saya selalu menghindari beasiswa pendidikan lanjutan yang mengikat dan ribet karena urusannya panjang. Jadi saya tidak pernah tertarik dengan beasiswa dari Pemerintah Indonesia, yang sudah pasti urusannya mungkin lebih panjang, tidak sesimpel beasiswa Word Bank, ADB, Japan, CIDA, SIDA, Ford Foundation dan sejenisnya.
Karena tidak pernah mencoba untuk mendapatkan beasiswa Dikti, maka saya tidak tahu seperti apa urusannya, tapi menurut kabar, urusannya memang jelimet sumber di sini. Sementara untuk proses yang saya jalani serta kelancaran pemberian beasiswa sangat mulus selancar jalan toll. Prosesnya hanya mengirimkan lamaran ke universitas yang kita tuju, sekaligus mencari calon Professor pembimbing. Calon professor pembimbing tentunya akan mencari tenaga riset yang murah tapi meriah (mahasiswa doktoral) yang sesuai dengan research interest dari professor yang bersangkutan.
Kalau cocok, artinya GPA, GRE dan TOEFL memenuhi syarat, Professor pembimbing akan setuju menjadi pembimbingnya. Kalau sangat tertarik dengan kemampuan akademik mahasiswanya, biasanya professor pembimbing ini mencarikan dana baik dari research project yang sedang dijalankan ataupun dari donor lain. Namun biasanya research project yang dijalankan oleh professor jumlahnya terbatas, artinya kita hanya akan memperoleh beasiswa yang jumlahnya terbatas. Walaupun ada juga yang mendapatkan beasiswa penuh dari research project yang sedang dijalankan oleh professor pembimbing sepanjang waktu studi (biasanya 2 tahun untuk master dan 3 tahun untuk PhD). Kalau tidak cocok, karena GPA, GRE dan TOEFL rendah, maka langsung reject, karena professor pun tentunya ingin mendapat brilliant student yang bisa membantu riset dia, sehingga beban kerja professor akan sangat berkurang. Student yang mandiri dalam riset akan sangat membantu kerja sang professor (yang tentunya sudah banyak kerjaannya. Kalau professor di Indonesia, gak tahu lah)
Alternatif lain, kalau seandainya pada saat itu professor tidak punya dana riset atau dana riset yang terbatas yang tidak cukup untuk membayar student, professor akan merekomendasikan kepada universitas untuk mendapatkan beasiswa dari donor lain. Universitas biasanya mempunyai pool database donor dengan berbagai persyaratan akademis yang ketat, terutama urusan otak (yang diukur dari GPA dan GRE) serta kemampuan riset (yang diukur dari riset proposal). Apabila student yang direkomendasikan benar-benar brilliant (kalau tidak brilliant tentu tidak akan direkomendasikan), maka dengan mudahnya student tersebut akan mendapatkan beasiswa.
Kalau kebetulan beasiswa internal tidak tersedia pada saat itu, universitas akan merekomendaikan student ini kepada donor lembaga luar, misalnya World Bank, Japan, ADB, dan bila donor setuju, donor akan mengucurkan beasiswa melalui universitas itu. Jadi kuncinya untuk mendapatkan beasiswa adalah kemampuan akademik. Dengan kemampuan akademik yang tinggi, direkomendasikan kemana pun, student akan dengan mudah mendapatkan beasiswa.
Transfer uang beasiswanya pun, menurut pengalaman saya, sangat mudah. Ketika enrolment, dan syarat-syarat untuk enrolment sudah dipenuhi, sementara visa diproses, kita membuka Bank Account (di sebagian negara, Bank account bisa dibuka kalau sudah ada student visa, di sebagian negara lain, bank account bisa dibuka hanya dengan passport, sementara student visa diproses). Biasanya student visa diproses ketika kita sudah memasuki negara di mana kita akan belajar. Masuk ke negara yang kita tuju hanya dengan visa biasa (tapi bukan visa turis). Selanjutnya setiap tanggal tertentu account kita sudah otomatis menerima uang beasiswa, tanpa harus menyerahkan dokumen ini dan itu yang sudah dilegalisir segala macam. Kemudian buat laporan kemajuan segala macam.
Memang secara periodik ada team monitoring yang mendatangi kita dan mendata kita mengenai perkembangan proses pendidikan kita, karena uang beasiswa yang kita terima pada hakikatnya adalah uang rakyat darimana beasiswa itu datang. Karena dibayar dari pajak rakyat negara tersebut. Kita pun boleh mengemukakan unek-unek berkenaan dengan kelancaran beasiswa tersebut. Biasanya sih unek-unek kita berkaitan dengan jumlah beasiswa yang diterima, misalnya kita terima USD 1000 per bulan minta dinaikan menjadi USD 1500 per bulan.
Dalam kasus saya, transfer uang beasiswa sangat lancar setiap bulannya, pada waktunya riset, uang riset pun sangat lancar, malahan ditransfer sebelum kita melakukan riset, pergi ke lapangan. Dengan lancarnya proses beasiswa ini dan dukungan sepenuhnya dari professor pembimbing kita serta universitas tempat kita belajar, kita pun menjadi terpacu untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Yang enaknya lagi, dalam Terms and Conditions beasiswa kita tidak ada satu klausulpun yang mengharuskan kita untuk melakukan ini dan itu yang sifanya memberatkan, kecuali satu yaitu setelah kita selesai dihimbau untuk membangun negeri kita.
Himbauan itu tidak mengikat secara fisik, hanya mengikat secara moral, secara etik pun tidak karena beasiswa itu sama sekali terlepas dari Pemerintah Indonesia. Ikatannya dengan Indonesia mungkin hanya satu, donor memberikan beasiswa kepada salah satu warga negara Indonesia, itu saja. Di sinilah dilema yang saya rasakan.
Setelah lulus mendapatkan gelar akademik tertinggi dari dunia pendidikan (NOTE: Professor itu pangkat BUKAN gelar akademik. Gelar akademik tertinggi adalah doktor. Ini kebanyakan orang kita menyalahartikan professor sebagai gelar akademik, padahal professor adalah an academic rank), saya mencoba balik ke kampung halaman untuk mengabdi sambil menumpang hidup dari pengabdian itu. Namun rupanya dilema antara syarat minimum untuk bertahan hidup (upah yang diterima) dengan himbauan moral tadi, lebih dimenangkan oleh tuntutan untuk bertahan hidup. Saya balik badan dan kembali kerja di negeri orang. Pribadi saya pun menyayangkan, tapi apa boleh buat karena anak saya perlu makan dan pendidikan yang memadai, karena isteri saya perlu makan, dan saya pun perlu makan untuk tetap bertahan hidup. Suatu kerugian bagi Indonesia. Kalau semacam saya ini dilakukan oleh puluhan bahkan ratusan ribu orang Indonesia yang lain, maka brain-drain sudah pada tahap yang membahayakan.
Cerita di atas adalah cerita mudahnya proses mendapatkan beasiswa dari lembaga asing. Dari Dikti? Saya tidak tahu persis karena tidak mengalami, tetapi dari cerita teman saya dan cerita Kompas dot com yang link-nya diberikan di atas, susahnya minta ampun. Teman saya, beasiswa Dikti-nya baru keluar setelah lulus, dan itupun berkurang (dipotong). Bagaimana bisa begitu? Teman yang satu lagi, beasiswanya lama keluar, begitu diurus ke Dikti, ditawari cepat tetapi duit diterima tidak utuh alias dipotong ‘biaya administrasi’. Persisnya saya tidak tahu, cerita beasiswa Dikti ini hanya berdasarkan cerita teman saya. Selain itu, persyaratan untuk memperolehnya puanjang. Memang bangsa kita ini perlu ada revolusi mental, karena sampai detik ini, mempersulit urusan mudah masih berlaku. Pak Ahok memang perlu menjadi Mendagri, atau Mendiknas, atau Menpan untuk membersihkan mental penghambat kemajuan bangsa ini.
Seumur hidup saya, di Indonesia saya hanya mengalami dua kali kejadian yang membuat mata saya berkaca-kaca, terharu. Pertama, ketika saya mengurus pengesahan ijazah luar negeri di Dikti, waktu itu petugasnya bernama Bu Eti. Pengesahan ijazah selesai dalam waktu 2 minggu, dan sudah difotokopi oleh Bu Eti ini. Ketika saya tanyakan berapa biaya untuk mengganti fotokopi, Bu Eti menjawab, itu gratis karena kami ada anggaran untuk melayani pengesahan ijazah ini. Bayangkan betapa terharunya saya, di tengah gurun segurun-gurunnya ada Oase seperti Bu Eti ini di Dikti.
Yang kedua, ketika saya pergi ke Sorong, Papua. Bagasi saya tidak dibawa oleh airlines karena penuh, dan baru dibawa pada penerbangan berikutnya. Seorang petugas namanya Pak Hasyim (Saya baca dari papan nama di dada kanan beliau. Beliau orang asli Papua) menanyakan kepada saya ketika saya celingak-celinguk mencari bagasi saya. Saya informasikan kepada Pak Hasyim bahwa bagasi saya berwarna coklat tidak ada, padahal di conveyor belt bagasi terakhir sudah diambil, dan conveyor belt sudah berhenti, artinya tidak ada bagasi lagi. Pak Hasyim bergegas lari ke arah pesawat untuk mengecek bagasi saya. Tak lama kemudian beliau kembali dan menginformasikan kepada saya bahwa bagasi saya akan datang pada penerbangan berikutnya sekitar pukul 8 malam, dan beliau akan mengantarkan ke hotel tempat saya menginap. Saya memberikan alamat hotel tempat saya menginap kepada beliau. Saya terpaksa membeli baju baru, handuk baru, dan lain-lain keperluan sementara. Betul saja sekitar Pukul 9 malam, kamar saya diketok orang, dan ketika dibuka nampak Pak Hasyim yang masih menggunakan seragam Angkasa Pura (artinya beliau belum pulang ke rumah), dengan bagasi saya nan lengkap tidak kurang sesuatu apapun. Sebagai ucapan terima kasih saya kepada Pak Hasyim yang sudah membuang waktunya untuk ngurusi bagasi saya (walaupun mungkin tugas beliau), saya sodorkan uang Rp 500,000 untuk beliau. Saya katakan kepada beliau, bahwa ini bukan suap, melainkan penghargaan sangat ikhlas saya kepada beliau yang telah sudi meluangkan waktu. Tetapi apa kata beliau? Gaji saya memang tidak besar, dan saya juga perlu uang, tetapi maaf saya tidak bisa menerima uang ini, karena ini sudah menjadi tugas saya. Masyaallah, ada lagi setetes air dipadang pasir.
Ya, hanya dua saja, sedangkan ribuan peristiwa yang lain yang saya alami, hanya hal-hal yang menyebalkan yang berdasar pada prinsip: KALAU BISA DIPERSULIT KENAPA DIPERMUDAH. Sebuah prinsip konyol dari bangsa ini yang perlu segera direvolusi. Kalau suatu saat saya ada waktu, saya akan cari Bu Eti Dikti dan Pak Hasyim Angkasa Pura itu. Bu, Pak, anda berdua telah menjadi contoh bagi bangsa kita ini. Anda berdua adalah Oase di tengah padang pasir nan gersang, panas dan ganas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H