Pemberantasan korupsi menjadi salah satu program prioritas pemerintahan di bawah komando Jokowi-JK. Hal ini wajar, mengingat data hingga oktober 2014 menyebut bahwa 60 persen kasus yang ditangani KPK adalah korupsi sektor pengadaan barang dan jasa (PBJ). Data tersebut belum termasuk korupsi pengadaan yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Sebelumnya, pemberantasan korupsi juga menjadi program prioritas pemerintahan masa SBY-Boediono, salah satunya dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 70 Tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, dimana mengatur mekanisme pengadaan secara elektronik (e-procurement).
Minus Regulasi
Implementasi e-procurement terbukti mampu menghemat anggaran negara dari sektor pengadan, data LKPP hingga pertengahan tahun ini mencatat mekanisme ini mampu menghemat anggaran negara hingga Rp 44 triliun. Sementara implementasi e-procurement di Kota Makassar mampu menghemat 20 persen dari total anggaran pengadaan.
Ironisnya, kendati e-procurement terbukti mampu menghemat anggaran tapi implementasinya sangat kecil dan justru menurun. Dari total Rp. 742,88 Triliun anggaran pengadaan nasional tahun 2013, hanya 33,6% yang melalui mekanisme elektronik. Sementara tahun ini, hingga November tercatat hanya 27,5% dari total Rp. 828.3 Triliun. Sementara itu, pengadaan dari sektor BUMN dan non APBN, misalnya impor minyak yang hingga saat ini prosesnya tidak pernah dibuka ke publik.
Berbagai kajian yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat menunjuk regulasi menjadi sebab lemahnya implementasi sistem ini, tidak aneh jika masih ada 19 persen dari total Kabupaten/Kota, 50 persen dari total lembaga negara, serta 26 persen dari total Kementerian yang ada di Indonesia belum memiliki Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), kendati sudah diwajibkan implementasinya oleh pemerintah sejak tahun 2012.
Saatnya kelemahan ini diperkuat oleh pemerintahan Jokowi-JK dengan mengesahkan RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) yang sebelumnya pernah masuk dalam Prolegnas lima tahunan, dan sempat di bahas pada tahun 2011. Hingga kini, publik tidak pernah tahu alasan mengapa RUU PBJ tidak kunjung disahkan menjadi UU, karena hanya Indonesia dan Myanmar yang belum memiliki UU pengadaan di ASEAN.
Cegah Di Hulu
Selain mengatur mekanisme pengadaan berbasis elektronik, sedikitnya ada tiga hal yang perlu diatur dalam UU PBJ. Pertama, pembentukan lembaga independen untuk menerima pengaduan seputar pengadaan. Selama ini belum ada lembaga penerima pengaduan kecuali disampaikan ke panitia. Padahal berdasarkan tren korupsi pengadaan, panitia seringkali justru menjadi bagian dari aktor korupsi.
Kedua, aturan seputar partisipasi masyarakat dalam pengadaan, tidak hanya pada saat proses dan setelah lelang tetapi juga sejak dalam perencanaan. Karena korupsi pengadaan seringkali terjadi sejak dalam tahapan pembahasan perencanaan di legislatif maupun di pemerintah. Selain meningkatkan transparansi pemerintah, mekanisme ini sekaligus memperketat pengawasan dalam pengadaan yang dilakukan oleh tim independen. Mekanisme ini berhasil diimplementasikan di Kota Makassar, Kabupaten Batang, dan Banjarbaru melalui www.pantaupbj.or.id.
Ketiga, pelibatan sektor swasta dalam pencegahan korupsi di pengadaan. Pemerintah dapat memberikan insentif yang menjanjikan bagi swasta yang mampu mencegah dan mengatasi kasus korupsinya sendiri, di sisi lain juga harus memberikan sanksi yang tegas sebagai efek jera kepada swasta yang terlibat dalam praktik korupsi, sanksi dapat berupa perdata (finansial hingga pencabutan izin usaha) dan pidana, mengingat selama ini hukum hanya menjerat pelaku korupsi, sedangkan perusahaan tempat dimana dia bekerja tidak diberi sanksi sama sekali. Cara ini sekaligus akan menyumbat nadi korupsi di negeri ini, yakni suap. Hasil survey integritas Partnership terhadap pengusaha di 5 Provinsi menunjukkan bahwa satu dari tiga pengusaha di Indonesia pernah melakukan suap.