[caption id="attachment_320354" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Di tengah pro-kontra atas putusan MK tentang Pemilu Serentak, publik harus tetap fokus mengawasi jalannya Pemilu 2014 yang akan dilaksanakan dalam hitungan bulan. Salah satu yang harus menjadi perhatian publik adalah dana kampanye, di mana disinyalir masih rawan akan adanya praktik korupsi seperti Pemilu sebelumnya.
Kendati sudah ada peraturan KPU tentang dana kampanye, namun sistem Pemilu yang menggunakan proporsional dengan calon terbuka menyisakan ruang bagi caleg dan partai untuk melakukan jual-beli suara pada saat pemilihan. Dana inilah yang tidak mungkin dicantumkan dalam pelaporan dana kampanye kepada KPU. Ironisnya, kegiatan jual-beli suara justru sebagian besar bisa terjadi jika melibatkan penyelenggara pemilu di tingkat KPPS atau PPK.
Lima modus yang terjadi di Pemilu 2009 yaitu; (1) calon membeli suara pemilih; (2) calon 'membeli' suara yang diperoleh calon lain dari partai yang sama di dapil yang sama; (3) calon mencuri suara calon lain dari partai yang sama di dapil sama; (4) calon mengambil suara yang diperoleh partai (suara yang diberikan pemilih kepada partai) dan; (5) calon membeli suara calon dari partai lain dari dapil yang sama.
Selain sistem Pemilu, celah juga ada di regulasi tentang Parpol. Sebagai mesin pemilu, partai dituntut dapat menyediakan dana cukup besar untuk pembiayaan politik. Namun, subsidi pemerintah sebagai salah sumber dana Parpol tidak proporsional. Berdasarkan regulasi yang ada, negara hanya memberikan subsidi berdasarkan jumlah perolehan suara partai dalam pemilu sebelumnya. Pun jumlahnya sangat sedikit, setiap suara yang sah hanya dihargai Rp 108.
Sumber dana partai lainnya adalah iuran anggota, namun hasil penelitian Partnership (2011) terhadap sembilan partai peraih kursi di parlemen menunjukkan bahwa tidak ada satu pun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) masing-masing Parpol yang mengatur pelaksanaan iuran anggota dan sumbangan perseorangan anggota. AD/ART juga tidak mengatur ketentuan pengelolaan keuangan Parpol sebagaimana diperintahkan UU. Sejauh ini mereka juga belum mau transparan terhadap pendanaan Parpol. Ini terbukti dari hasil survei TII tahun 2013. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana asal-usul uang Parpol?
Faktor-faktor di atas inilah penyebab adanya celah bagi pejabat publik untuk menggunakan fasilitas maupun dana negara untuk kepentingan kampanye dan pembiayaan Parpol. Salah satu modusnya melalui penyelewengan dana Bantuan Sosial (Bansos).
Pendapat ini diperkuat dengan temuan audit BPK untuk alokasi bansos tahun 2012, di mana Rp 31,66 triliun atau hampir separuh dari total dana sebesar Rp 75,62 triliun dinilai bermasalah. Permasalahan meliputi penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Beberapa temuan BPK antara lain adanya pencairan dana bansos senilai Rp 1,91 triliun yang tidak disalurkan, dan dana tersebut tidak juga dikembalikan ke kas negara per 31 Desember 2012. Dana mengendap di rekening kementerian dan lembaga negara, di rekening pihak ketiga, di bank, dan di kantor pos. Contoh lain adalah ketidaksesuaian dengan sasaran, nilainya mencapai Rp 269,98 miliar. Penyelewengan serupa juga diduga masih akan ditemui di penyaluran dana bansos 2013, terlebih jumlah alokasinya mencapai Rp 103 triliun (APBN Rp 73,6 triliun, ditambah APBN-P Rp. 29,4 triliun).
Penyelewengan dana bansos juga terjadi hingga level provinsi. Hasil penelitian Indonesia Governance Index (IGI) tahun 2012 menunjukkan bahwa dana bansos seringkali dimanfaatkan oleh rezim yang sedang berkuasa. Bukti sederhana dapat dilihat ketika masa-masa menjelang pemilihan kepala daerah, jumlah dana bansos yang dialokasikan bisa mencapai dua kali lipat jumlahnya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dan jumlah ini tidak termasuk dana bantuan sosial untuk bencana alam. Dugaan penyelewengan ini dikuatkan dengan tidak adanya bukti pertanggungjawaban dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) pemerintah provinsi.
Bau busuk akan adanya penyelewengan uang negara juga dapat tercium pada alokasi dana optimalisasi yang diberikan kepada 32 kementerian dan lembaga belum lama ini, nilainya mencapai Rp 26,9 triliun, membengkak dua kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya Rp 11-13 triliun. Padahal penggunaan dana optimalisasi ini rawan diselewengkan, karena mekanisme pengawasan yang masih minim. Pengawasan terhadap penggunaan dana optimalisasi diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait dengan komisi di DPR RI, di sisi lain DPR RI memiliki kewenangan tambahan, yakni menyetujui pencairan dana optimalisasi.
Belum lagi sektor pengadaan barang dan jasa yang selama ini dikenal menjadi salah satu sumber rekening pejabat publik dan politisi untuk memperkaya diri dan kelompoknya, sejauh ini korupsi sektor barang dan jasa menduduki peringkat teratas dalam kasus yang ditangani KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H