.
puisi Arieyoko di MINGGU PAGI, Yogya
28 Februari 2016
.
PUISIKU
.
Aku ingin berhenti menulis puisi, karena puisi tak bisa ditukar beras dan nasi, bensin dan rokok, gula dan kopi. Puisi hanya mengenyangkan hati dan sejuta mimpi-mimpi, yang kalah menjadi menang, yang pahit menjadi indah, yang mati menjadi hidup kembali
.
Aku ingin membuang menjauhkan puisi-puisiku, seperti aku telah melupa jejak kaki sejak bayi, mengular, melingkar, membelit, menjelma hari-hari dalam catatan panjang yang timbul tenggelam, tak keruan, sehingga tak mampu lagi kurunut mana pangkal dan ujungnya
.
Pernah kularung semua benih puisiku ke dalam kawah belerang yang terus menguapkan bau pesing. Juga, jauh ke tengah segara yang berbatas langit. Aku tak berharap Ia kembali pulang. Namun, ketika kumasuki rumah, puisiku telah telanjang mengangkang di ranjang
.
Ya ya
aku ingin berhenti menulis puisi
agar mampu hidup nyaman tentram
tak perlu selalu di goda diributkan olehnya
.
Ya ya
puisi-puisiku berhentilah mengganggu
engkau tak nyata dan hanya sia-sia
pergilah sesegera kamu bisa
.
( puisiku diam tak menjawab apa-apa
air matanya menderas membanjiri jantung,
empedu, ginjal, darah, tulang-tulang dan juga
: air mataku )
.
---------------------
Jonegoro, 2016
**Arieyoko –pendiri Komunitas Sastra Etnik, bermukin di Bojonegoro, Jatim
[caption caption="puisi Arieyoko"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H