Lihat ke Halaman Asli

Provinsi Madura? Perbaiki Dulu Sistem Politiknya

Diperbarui: 6 November 2015   17:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca Reformasi seiring dengan diberlakukanya politik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia geliat politik lokal menampakkan ragam dinamika. Salah satu diantaranya adalah munculnya orang kuat di tingkat lokal dalam mengakses kekuasaan. Orang kuat lokal atau disebut pula dengan bos lokal (bossism) tumbuh bertebaran dengan memanfaatkan kran demokratisasi dan angin keterbukaan politik. (Jhon Harris, dkk: 2004). Begitu pula yang terjadi di Madura.

Bila di masa Orde Baru sangat sulit menemukan bupati yang memiliki latar belakang dari komunitas blater atau kiai, maka di era Reformasi yang menduduki jabatan bupati di empat kabupaten yang ada di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep) begitu beragam dilihat dari latar belakang sosialnya. Ada yang berasal dari kultur sosial sebagai seorang kiai, militer/tentara dan kiai blater. Yang terakhir ini sosok yang dibesarkan di dua lingkungan sosial, yakni santri atau kiai dan komunitas blater. Orang-orang lokal menyebutnya sebagai kiai blater. Jabatan politik formal di tingkat kabupaten, hampir sepunuhnya dikuasai oleh figur yang memiliki akar kultural di masyarakat.

Dengan adanya ruang yang lebih terbuka bagi figur lokal untuk berebut kursi kekuasaan di tingkat kabupaten maka kompetisi politik menjadi lebih dekat di tingkatan basis sosial masyarakat. Mereka yang memiliki kultur, jaringan dan modal sosial lainnya dapat lebih mudah untuk tampil kepermukaan. Tak terkecuali figur blater yang berasal dari habitus dunia kekerasan dan kriminalitas. Bila sebelum ini politik kuasa blater hanya di lingkungan pedesaan maka di era Reformasi lokus dan pengaruh politiknya lebih luas, yakni di tingkatan kabupaten. Bukan berarti sebelum ini tidak ada pengaruh blater yang melampaui tapal batas di lingkungan desanya.

Fenomena pengaruh blater melampaui batas-batas desa ada namun kecenderungannya karena adanya koneksi dengan kekuasaan formal di tingkat kabupaten atau propinsi yang umumnya dipegang oleh militer. Dalam konteks ini ada proses pengorbitan figur blater oleh kalangan aparat keamanan. Reformaasi politik selain mendorong pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah juga mendorong perubahan format politik dalam renkruitmen politik, seperti adanya pemilu DPR(D) melalui basis parpol dan keterwakilan perolehan suara di tingkat komunitas serta adanya pemilu presiden, gubenur dan bupati secara langsung. Bagi komunitas blater semua peristiwa politik itu menjadi peluang sekaligus komoditas politik yang dapat meningkatkan daya tawar politik dan ekonomi. Prosesnya apakah dengan cara terlibat secara langsung dengan menjadi tim sukses atau secara tidak langsung, yakni melalui pengaruh kultural yang dimilikinya di tengah masyarakat.

Penguasaan atas politik lokal desa menunjukkan bahwasannya blater memiliki akar sosial dan jaringan serta pengaruh di kalangan warga. Dalam konteks rezim otoritarian Orde Baru memang sulit bagi jaringan blater ini berkembang pada tingkatan yang lebih tinggi, seperti politik-kuasa di tingkat kabupaten. Namun era Reformasi, dimana keterbukaan dan kompetisi politik relatif lebih menjamin bagi mereka yang memiliki dukungan di tingkatan warga masyarakat, politik blater memungkinkan untuk berkembang ke politik formal pada tingkatan kabupaten bahkan sampai tingkat yang lebih puncak lagi.

Penguasaan ekonomi politik di jalur bisnis kekerasan dan jasa keamanan sampai saat ini juga tetap dijalaninya karena disitulah habitus yang membesarkannya. Meskipun arenanya kini telah meluas dan bahkan melembaga pada tingkatan politik dan ekonomi formal. Apa saja peran yang dimainkan oleh komunitas blater ini ketika sudah memiliki akses langsung dengan kekuasaan? Mereka kini mulai memahami peluang dan teknik pengelolaan proyek pembangunan melalui birokrasi. Tak sedikit sekarang para blater yang mendirikan perusahaan, seperti CV. Dengan perusahaan sejenis CV itu mereka kemudian mengikuti tender proyek pengaspalan jalan program pembangunan infrastruktur kabupaten. Para politisi dan top leader birokrasi untuk proyek di tingkatan perbaikan jalan desa lebih banyak memberikan pada perusahaan atau CV para blater sebagai pemenang tender.

Jalinan kuasa blater dengan politisi dan birokrasi ini memunculkan simbiosis yang saling menguntungkan. Misalnya, kalau ada kritik atau protes dari mahasiswa, LSM atau kekuatan masyarakat sipil lainnya atas berbagai penyimpangan birokrasi, biasanya kaum blater digunakan untuk membungkam sikap kritis warga. Proses politik pasca Reformasi membuat jejaring blater dengan kelompok sosial lainnya tidak lagi sebatas jalinan kultural, dan politik juga berkembang dalam bentuk hubungan relasi ekonomi yang saling menguntungkan.

Kapasitas dan kemampuan blater dalam mengorganisir diri ini ternyata berpengaruh pula pada perolehan besaran proyek. Misalnya, kalau kapasitas blater itu hanya berpengaruh di tingkatan desanya maka perolehan proyek pembangunan hanya sebatas di lingkungan desanya saja, seperti pengaspalan jalan kampung dan desa. Jadi kalau ada proyek di tingkat kabupaten masuk desa itu, sang blater itulah yang dominan mengelolanya. Ada pula sosok blater yang pengaruhnya malampaui lintas desa dan mobilitasnya sampai di tingkatan nasional sehingga memiliki akses pula dalam menikmati proyek-proyek pembangunan yang lebih besar lagi, yakni lintas desa.

Bila dilihat dari praktek sosial yang berkembang, era Reformasi tampaknya makin menandai kiprah blater yang dulunya hanya berpolitik di lingkaran ‘ekor’ kini mulai merambat di pucuk kepala. Dari menjalani bisnis kekerasan di panggung politik kultural, kini jejaringnya makin meluas di ranah politik formal. Dari politik jalanan ke ranah birokrasi kekuasaan. Persyaratan birokrasi dalam memenangkan tender proyek pembangunan yang dulunya hanya dikuasai kaum profesional, kini mulai dirambah kaum blater. Berbagai formula persyaratan mengikuti tender proyek pembangunan mulai diadaptasi oleh kaum blater. Tak heran bila konflik kepentingan antar komunitas blater dalam perebutan proyek pembangunan kini juga mulai bermunculan. Meskipun belum berkembang pada pusaran konflik yang terbuka, terlebih sampai bersifat fisik.

Dinamika politik di tingkat desa dan juga di tingkat kabupaten, energinya berada di tangan dua komunitas, yakni blater dan kiai. Kalau kedua komunitas ini memiliki concern terhadap perbaikan kualitas layanan publik masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan lainnya dalam tata kuasa pemerintahan maka pelaksanaan otonomi dan desentralisasi politik di Madura akan mendulang masa depan yang mengembirakan. Namun, bila kedua komunitas ini tidak memiliki concern atas perubahan dan perbaikan maka masyarakat Madura akan menghadapi masa-masa suram, justru di tengah era desentralisasi yang menjadi dambaan banyak pihak yang begitu lelah dengan sentralisasi di era Orde Baru. Memang ada komunitas lain di luar kedua maisntreams itu, yakni kalangan akademisi. Namun perannya masih belum signifikan dalam mempengaruhi politik kuasa di Madura.

NB: Kita harus melihatnya dari banyak sisi, kondisi perpolitikan di madura sekarang ini sangat memprihatinkan.

Oleh: Arik abd Muhyi

Mahasiswa Teknik Industri

Universitas Muhammadiyah Malang.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline