"Selamat Hari Kartini bagi perempuan Indonesia". Hari Kartini diperingati pada 21 April setiap tahunnya. Kenapa dalam setiap peringatannya kata yang digunakan adalah 'perempuan'? Mengapa tidak menggunakan kata 'wanita'?
Pada dasarnya 'perempuan' memiliki arti kata tersendiri. Namun, di masyarakat tidak terlalu menghiraukan penggunaan kata 'perempuan atau wanita'. Padahal, penggunaan tersebut, memiliki konsekuensi yang berbeda. Hal itulah yang menjadi polemik oleh tokoh perempuan dari masa ke masa.
Perempuan berasal dari kata 'empu' (Sansekerta) berarti memuliakan, 'puan' (KBBI) berarti perempuan. Sudarti dan D. Jupriono juga menuliskan bahwa dalam pengamatan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Sedangkan wanita berasal dari bahasa Jawa, yaitu 'wani ditata', yang berarti orang yang mudah diatur. Dari definisi tersebut menjelaskan bahwa hakikat kaum hawa dalam kehidupan bermasyarakat kita hanya jadi hiasan, atau aksesoris semata.
Penggunaan kata 'perempuan' sebagai bentuk perlawanan, seperti Kongres Perempuan Indonesia 22 Desember 1948 - 25 Desember 1948. Dalam kongres tersebut berhasil membentuk Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI) dan juga berhasil merumuskan tujuan mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan perempuan Indonesia serta kesepakatan bersama untuk menangani masalah perburuhan perempuan, buta huruf, serta perkawinan yang kerap melanda perempuan.
Setelah Indonesia merdeka, Soekarno mengganti kata perempuan menjadi wanita. Yang menjadikan Kongres Perempuan Indonesia beralih menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Beliau berpendapat bahwa kata 'wanita' lebih sopan digunakan dibandingkan kata 'perempuan'. Sejak saat itu kata 'wanita' lebih banyak digunakan untuk nama-nama organisasi perempuan di Indonesia.
Perempuan dalam konteks kepatriarkal telah ditentang, namun kerap terjadi penyimpangan. Perempuan bahkan jarang memperdulikan apa yang telah diperjuangkan oleh tokoh perempuan. Seperti pemahaman mereka akan perasaan merasa selalu lebih bawah laki-laki. Hal tersebut sudah banyak terjadi di Indonesia dalam konteks kepemimpinan, pekerjaan di dalam kursi parlemen yang hanya sedikit menyediakan kuota kursi untuk perempuan yang tidak pernah terpenuhi hingga kini.
Tidak heran pula, sebagian perempuan menyalahi apa yang telah diperjuangkan oleh tokoh perempuan Indonesia maupun internasional. Dalam perpekstifnya, bahwa sebuah pekerjaan dan kepemimpian suatu hal yang tidak penting, melainkan hal terpentingnya adalah mempercantik diri untuk menarik perhatian laki-laki. Hal itulah yang menempatkan posisi perempuan berada lebih rendah dari laki-laki.
Setiap manusia memiliki sifat alamiah yang ingin merasa puas, terutama perempuan. Seperti membeli barang-barang branded untuk kepameran belaka. Sifat tersebut yang mnyebabkan budaya hura-hura yang semakin meningkat. Gaya hidup yang seperti itu dapat berpengaruh besar terhadap lingkungan.
Maka dari itu, sebagai seorang perempuan harus pandai untuk mengendalikan diri. Menjadi sosok yang memiliki pendirian yang kuat serta tidak mudah terhempas ke dalam arus kehidupan berfoya-foya. Jadilah seorang perempuan yang memiliki harta dan martabat dan jadilah seorang pejuang yang prihatin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H