Lihat ke Halaman Asli

Geliat Ekonomi di Bogor Tempo Dulu

Diperbarui: 28 Oktober 2024   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas rakyat di pasar Baru Bogor pada tempo dulu (Foto: Tropen Museum)

Geliat ekonomi di Bogor tempo dulu sudah dimulai jauh sebelum negeri ini dijajah oleh Belanda. Di masa kerajaan misalnya, Bogor sudah menjadi sebuah dayeuh atau ibukota untuk kerajaan Sunda Pakuan dengan rajanya yang terkenal, Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Pertukaran kebutuhan pada awalnya dilakukan dengan menggunakan sistem barter atau metode tukar barang, sebelum akhirnya menggunakan mata uang yang diadaptasi dari bangsa luar. Kedatangan VOC kian memengaruhi penggunaan mata uang untuk menggantikan transaksi jual beli dengan metode barter.

Di Bogor tempo dulu sebenarnya terdapat banyak lokasi yang dijadikan pasar rakyat tempat bertransaksi jual beli berbagai barang kebutuhan dan pangan. Ruang lingkup pemasarannya biasanya tergantung dari tempat pasar itu berada. Untuk pasar berukuran kecil misalnya akan berlokasi di dekat kawasan pemukiman, sedangkan yang berskala besar akan dilangsungkan di tengah kota.

Barang-barang kebutuhan yang dijual di pasar-pasar rakyat tempo dulu pun sangat beragam mulai dari pakaian, sarung, kain batik, peci hingga perlengkapan barang rumah tangga dan keperluan dapur, termasuk juga bahan makanan yang terdiri dari sayur mayur, lauk dan buah-buahan.

Sebelum berdiri pasar Bogor dan Pasar Anyar, ada beberapa lokasi di Bogor yang sejak dulu kerap dijadikan sebagai tempat transaksi jual beli antara lain Pasar Kebon Jahe yang berada tidak jauh dari pekuburan orang-orang eropa (Memento Mori), pasar rakyat di Pejagalan, pasar di Manunggal, serta pasar-pasar lain yang ada di Gunung Batu, Ciluar, Ciampea, Dramaga, Cilendek, Panaragan dan sebagainya.

Pemerintah kolonial sangat mengerti dengan kebutuhan rakyat akan pasar tradisional yang mampu menampung lebih banyak pedagang maupun pembali, sehingga mereka kemudian memanfaatkan lahan kosong yang berada di timur Kebun Raya untuk dijadikan pasar tradisional. 

Penduduk yang akan berjualan di pasar itu harus menyewa lapak terlebih dulu kepada pihak berwenang sebelum dapat menjajakan barang dagangannya di tempat itu. Pasar tradisional yang kelak dinamai Pasar Baru Bogor itu dibuka setiap dua minggu sekali. Setelah pasar itu berkembang pesat, aktivitas jual beli mulai dilakukan setiap hari.

Semakin ramainya Bogor dengan jumlah penduduk yang terus berdatangan, membuat pemerintah Hindia Belanda mengubah status pasar baru menjadi pasar regional sedangkan untuk pasar lokal dibangunlah Pasar Anyar yang berada di dekat Stasiun Bogor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline