Hal paling mendebarkan saat melamar ke sebuah institusi bisnis adalah wawancara terakhir dengan pimpinan Perusahaan.
Pada sesi tersebut kita akan mendengar berapa besaran gaji yang akan menjadi hak ketika kita berkarir di institusi itu.
Tak jarang bahkan euforia yang muncul membuat kita lupa menanyakan apakah besaran gaji tersebut bersifat gross (gaji kotor) atau sudah bersih (net) setelah dipotong pajak penghasilan.
Alhasil, ketika kita menjalani rutinitas bekerja mulai Hari pertama hingga tanggal gajian, pola pikir kita terbentuk pada besaran gaji yang boleh saya Sebut dengan istilah 'gaji semu'.
Tak ayal euforia tersebut spontan akan berubah menjadi sebuah kekecewaan ketika tanggal gajian tiba.
Setelah antri cukup lama di ATM, atau melihat saldo di rekening Bank secara online, banyak di antara kita yang terheran-heran sambil berkata, "Lah, kok tidak sesuai dengan besaran gaji yang dijanjikan?"
Padahal, pengeluaran harian selama Hari pertama kerja hingga tanggal gajian seringkali sudah 'PAS' dengan besaran gaji yang didengarkan dulu.
Maka ketika besaran yang diterima lebih kecil otomatis kita akan mulai berutang (padahal baru satu bulan bekerja). Pahamilah bahwa ketika realitas ini tak kunjung dituntaskan maka kita akan terjebak dalam konteks Besar pasak daripada tiang.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Fenomena tersebut menunjukkan pentingnya kita mengetahui besaran gaji bersih (setelah dipotong pajak) per bulannya.