Sejak awal Desember 2022 lalu, beberapa pemberitaan yang menjadi barometer investor global menyebutkan 'The end of cheap money'.
Artikel tersebut dapat dipastikan bukan sekedar rumor, namun disusun dengan mencermati setiap tren data-data keuangan yang terjadi sepanjang 2022.
Gempuran Covid sejak 2020 serta konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina telah menciptakan turbulensi dalam perekonomian global.
Inflasi di Amerika Serikat serta sejumlah negara di Eropa naik drastis. Situasi ini mau tak mau telah membuat beberapa Bank Sentral menaikkan suku bunga acuannya.
Sebagai contoh, di negeri Paman Sam, Federal Fund Rates berada pada posisi 0,25% hingga 0,5% di awal tabun 2022, naik menjadi 4,25% hingga 4,5% di pertengahan bulan Desember lalu.
Tidak berhenti di situ, ancang-ancang akan adanya kenaikan mencapai 4,75% sampai 5,0% di awal tahun ini sudah mulai terlihat. Hal ini membuktikan bahwa lonceng krisis keuangan mulai berdentang cukup nyaring. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sebelum terburu-buru mengklaim akankah kita bengalami krisis yang sama, ada baiknya kita berangkat dari definisi tentang krisis keuangan dari suddat pendang teori ekonomi.
Perekonomian suatu negara dikategorikan mengalami krisis apabila terjadi penurunan gross domestic product selama dua kartal berturut-turut.
Nah dari definisi tersebut, jika kita merujuk pada data-data statistik yang ada, sampai dengan kuartal ketiga 2022 lalu, GDP kita masih bertumbuh di kisaran 5%. Mk dari pemahaman tersebut kiranya kita belum masuk daam kategori krisis.
Meskipun demikian, investor kiranya tetap berada pada mode 'waspada'. Alasannya cukup kuat bahwa gejala inflasi tinggi masih dimungkinkan mengalir ke Wilayah kita, mengingat laju inflasi di sejumlah negara mitra danang kita cukup tinggi.