Pagi ini saya meluangkan waktu untuk melakukan perawatan rutin kendaraan di salah satu bengkel. Berbeda dari biasanya, kali ini saya tiba di bengkel tepat pukul 08.25 pagi. Setelah mendapat sapaan hangat dari Bapak sekuriti, sayapun bergegas mendaftar di Ruang administrasi. Tiga staf terlihat sangat ramah dalam malayani saya. Butuh waktu kurang dari 10 menit untuk menyelesaikan semua proses administrasi. 'Perkiraan selesai di jam 11.00 ya Bapak', ungkap staf yang membantu saya memproses semua langkah administrasi. Sayapun segera menuju ke Ruang tunggu di Lantai 2. Di sana saya adalah orang pertama yang memasuki ruang tunggu. Udara dingin dari AC yang baru dinyalakan seakan menyertai aktivitas seorang petugas yang tengah menyiapkan snack pagi serta kopi dan teh. Tiba-tiba saya menyeletuk 'Mas, ramai bengkel-nya?'. Petugas itupun segera menatap saya dengan wajah penuh tanya 'Bapak juga baru kembali ke Jakarta?'. Spontan saya jawab 'Tidak Mas, tahun ini saya tetap di Jakarta merayakan Natal dan Tahun Baru. Gara-gara Covid-19 Mas!'. Wajah yang tertutup dengan masker itu tiba-tiba tampak sangat lega. Iapun berujar 'Syukurlah Pak, sebab kami yang bertugas di sini merasa was-was kalau mereka yang baru Saja tiba di Jakarta, tanpa isolasi mandiri langsung datang kemari untuk merawat kendaraannya pasca digunakan berkendara jarak jauh'.
Kalimat itu tampas belum sepenuhnya usai. Pembicaraan kami terhenti saat seseorang Masuk ruangan dengan tangan kanan memegang masker yang seharusnya digunakan terus menerus. Dari penampilannya, saya menebak bahwa ia adalah salah seorang pelanggan yang juga melakukan perawatan kendaraan. 'Mas kopi ya untuk saya', ungkapnya cetus. Petugas tadi terlihat sangat canggung: di satu sisi ia ingin mengingatkan pelanggan tersebut untuk menggunakan masker, di lain sisi ia mungkin berpikir dua tiga kali untuk melakukan hal itu. Maka sayapun memberanikan diri untuk menegurnya dengan halus. 'Pak, maskernya lupa dipakai ya', seraya menunjuk masker yang tengah digenggamnya. Sejenak ia terlihat tidak dapat menerima teguran saya, namun apa boleh buat, ia segera memasang masker tadi untuk menutup hidung dan mulutnya.
Petugas ruangan melirik ke arah saya sambil berterima kasih, lalu melanjutkan aktivitasnya. Pelanggan itupun duduk di kursi kosong di ujung ruangan seraya memutar beberapa lagu dari Spotify -nya dengan cukup kencang. Awalnya saya cukup terganggu karena saya menunggu proses perawatan sembari bekerja. Namun saya paham benar bahwa Ruang tunggu itu adalah fasilitas umum jadi beradaptasi kiranya menjadi opsi yang terbaik.
Selang lima menit berlalu, ia tampak Tengah dihubungi Oleh seseorang di ujung telpon selulernya. 'Selamat pagi Bapak, siiiiaapp! Hadir Pak!' ungkapnya. Sayapun berusaha tidak mendengar percakapan mereka, namun apa daya, Karena pelanggan tersebut berbicara sangat kencang maka kalimat merekapun mampir ke telinga saya. Yang cukup mencengangkan saya adalah jawabannya 'Siap Bapak. Kemarin Pak sampai di Jakarta! Lumayan Pak, di kampung bisa bertemu keluarga dan teman sekolah!' Lalu yang mencengangkan lagi adalah response lanjutannya: 'Tak perlu isolasi mandiri Pak, kerjaan banyak nanti Bapak komplain, repot juga saya!'
Otak saya berpikir keras: 'Bukankah isolasi mandiri itu adalah upaya untuk menjaga diri dan keluarganya? Dari tampilannya, Ia tampak sepreti orang yang sudah berkeluarga. Apakah ia tidak khawatir jika tiba-tiba ia dan keluarganya terjangkiti Covid-19? Lalu bagaimana dengan saya yang kala itu satu ruangan dengan dia? Apa yang harus saya lakukan? Segera meninggalkan ruangan? Sungguh kerdilkah nuraninya?'. Semua pertanyaan itu berkecamuk di benak saya.
Spontan saya segera meninggalkan ruangan lalu menyampaikan peristiwa itu kepada petugas bengkel. Tak disangka, respon mereka juga di luar pola pikir saya. 'Iya Pak, mohon maaf sebelumnya, tapi maman Demikian kenyataannya. Setelah perjalanan jauh, rata-rata mereka langsung melakukan perawatan kendaraan. Sudah risiko kami untuk berhadapan dengan mereka Pak. Kalau tidak begitu bagaimana kami menjaga kelangsungan bengkel ini?'
Pernyataan itu menghentakkan nurani saya. Para petugas itu harus berhadapan dengan risiko dari mereka yang acuh tak acuh pada protokol kesehatan. Terbayang bila seorang ayah berangkat kerja di bengkel tersebut dalam kendisi sehat walafiat, lalu pulang dengan membawa virus Covid-19 dari salah satu pelanggan yang melalaikan arti pentingnya isolasi mandiri pasca bepergian jauh ke luar kota. Di manakah keadilan itu? Apakah ini yang disebut ujian hidup? Di kala seseorang terjangkiti virus ketika tengah menjalankan tugas mulianya?
Kejadian pagi tadi mengingatkan saya bahwa isolasi mandiri benar-benar merupakan sebuah pesan moral bagi mereka yang menyayangi dirinya, keluarga serta Bangsanya. Sama halnya dengan ketika kita memakai masker. Tujuan menggunakan masker adalah bukan untuk melindungi diri kita szmata, namun sejatinya kita yang melindungi orang lain. Sebab siapa tau kita adalah orang tanpa gejala itu? Jika kita mengasihi sesama, maka sudah pasti upaya '3M - mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak' menjadi tuntunan kita dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pertanyaannya sekarang, apakah kita juga perlaku seperti pelanggan dalam kisah saya? Beranikah kita untuk menjadi duta bagi pesan moral isolasi mandiri itu? Siapkah kita bila mendapat respons yang tak sedap darinya?
Sayapun menutup kisah pagi tadi dengan memberanikan diri untuk mengingatkannya: 'Maaf Pak, bukannya kalau habis pulang kampung maka Bapak harus isolasi mandiri 14 Hari?' Iapun menjawab 'Bukan urusan Bapak ya, saya mau isolasi atau tidak!' Ini merupakan jawaban yang sudah saya tebak akan mengalir deras dari dia.
Seluruh realitas yang berhasil saya potret tadi pagi menunjukkan besarnya pekerjaan rumah kita dalam menghadapi Covid-19 ini. Semoga pesan moral ini mengingatkan kita bahwa upada isoman adalah sebuah langkah nyata bahwa kita mencintai diri sendiri, keluarga dan Bangsa Indonesia!