Sejak pandemi Covid-19 resmi berkunjung ke Indonesia di pertengahan bulan Februari lalu, setidaknya ada dua perdebatan di kalangan elite yang saya cermati. Pertama terkait mana yang dinilai lebih penting; melakukan lockdown atau social distancing. Walau pada akhirnya opsi kedua 'pembatasan sosial berskala besar' jualah yang diambil namun riak-riaknya masih berdengung hingga kini. Perdebatan kedua terkait upaya pemulihan ekonomi yang diambil oleh pemerintah pusat.
Atas perdebatan ini akhirnya paket stimulus jualah yang menjadi pilihan terbaik. Namun lagi-lagi sama seperti debat yang pertama, untuk konteks topik kedua ini juga masih berlanjut hingga kini. Suara-suara yang menyangsikan kedua opsi tersebut masih santer terdengar.
Sebagai seorang periset, dengan modal ilmu ekonomi yang sangat dangkal, saya berusaha untuk mengumpulkan data-data statistik publik dari sumber-sumber terpercaya lalu mencoba untuk menjelaskannya secara sederhana dalam artikel ini. Sebelumnya mohon maaf apabila ulasan berikut terlihat amat dangkal, namun setidaknya dapat menjadi pemikiran yang obyektif dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi di ranah '+62' ini.
Secara umum, analisa saya meliputi tiga elemen utama. Pertama terkait berapa sih value of statistical life di Indonesia? Angka value of statistical life ini sangat penting untuk memonetisasi risiko fatal yang terjadi, khususnya yang berhubungan dengan angka kematian akibat Covid-19. Kali ini penelusuran saya terhenti di jurnal karya W. Kip Viscusi dan Clayton Masterman di tahun 2017. Meski riset tersebut tidak secara spesifik merujuk ke Covid-19, namun yang menarik buat saya adalah model pengukuran value of statistical life yang disajikan sangat gamblang.
Mata sayapun semakin terbelalak ketika melihat estimasi angka tersebut ada di Rp. 7,4 Milyar per jiwa. Itu artinya, semakin besar potensi penyebaran pandemi, maka semakin banyak kasus Covid-19 yang menciptakan angka kematian. Maka mau tak mau, opsi menekan angka penyebaran pandemi yang mengakibatkan kematian ini mutlak wajib dilakukan, meski mungkin akan menimbulkan gejolak di sisi ekonomi. Semakin besar angka kematian atas virus ini maka semakin tinggi biaya yang harus ditanggung.
Pola pikir ini harus diakui sedikit berbeda dengan cara pandang konvensional yang selama ini beredar luas di kalangan akademisi. Para ahli sering melihat dua dimensi utama yakni gross domestic product dan laju pertumbuhan ekonomi dalam melakukan pengukuran. Bagi saya hal itu akan sulit dilakukan khususnya di era pandemi Covid-19 saat ini mengingat di dalam formula GDP pasti terdapat selisih angka ekspor dan impor.
Nah di situlah masalahnya: di mana hampir semua negara saat ini menghentikan aliran ekspor-impor dalam jumlah besar sehingga cukup sulit dalam memperoleh data yang valid. Atas kondisi tersebut, saya memilih untuk menggunakan model lain yang memperhitungkan indeks kebahagiaan di mana di dalamnya turut mempertimbangkan value of statistical life.
Dari kajian singkat di atas kiranya kita sepakat untuk mendahulukan langkah intervensi di bidang kesehatan. Singkat kata, saya membangun 3 skenario kebijakan yakni intervensi minim, intervensi ketat dan intervensi ketat plus stimulus. Sebagai catatan, saya memakai intervensi ketat dalam konteks lockdown, bukan pembatasan sosial berskala besar seperti yang dijalankan saat ini.
Untuk upaya tersebut, pemodelan saya ambil dari apa yang dilakukan oleh Tiongkok sebagai epicentrum pandemi. Selanjutnya 3 skenario tersebut dapat dengan mudah dibandingkan dengan kondisi proyeksi ekonomi yang diterbitkan oleh Bank Dunia di akhir tahun 2019 lalu ketika pandemi belum menjadi sebuah perhatian global.
Hasil perhitungan yang saya dapatkan adalah sebagai berikut: pada kondisi normal, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 ini diprediksi di angka 5,2%. Bila kebijakan yang dipilih adalah intervensi minimum maka biaya penanganan Covid-19 ini hanya menurunkan lajur pertumbuhan sebesar 0,91%. Namun dalam jangka panjang (hingga tahun 2030) akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi hingga 0,43% dari kondisi normal.
Selanjutnya pada kebijakan intervensi ketat (tanpa stimulus) terdapat kemungkinan bahwa laju pertumbuhan ekonomi dalam satu tahun ini akan mendekati angka 0, tepatnya sedikit di bawah angka 1.0%. Namun dalam jangka panjang (hingga 2030) lajur pertumbuhan dapat kembali ke angka 5,10%. Mohon dicatat bahwa skenario ini dibangun dengan estimasi pemberlakuan kebijakan lockdown.