Lihat ke Halaman Asli

Aries Heru Prasetyo

Akademisi bidang Crisis Management

Belajar dari Rumah, Orangtua Pusing, dan Anak Pening

Diperbarui: 16 April 2020   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi belajar dari rumah. (sumber: pixabay.com/startupstockphotos)

Sudah hampir lima pekan ini, pemberlakuan social distancing telah membuat proses belajar harus dilakukan dari rumah. Alhasil setiap jam 8 pagi sampai dengan kira-kira jam 11.00 siang, atmosfer 'ketegangan' cukup terlihat di ruang keluarga. 

Ayah terlihat fokus dengan laptopnya karena melakukan aktivitas kerja dari rumah, sedangkan Ibu tengah sibuk memainkan peran gandanya: antara peran sebagai wanita karir ataupun Ibu rumah tangga. 

Di depan televisi, duduklah dengan tenang duo si kecil, menantikan acara di televisi nasional seraya mengerjakan tugas-tugas lainnya yang diberikan melalui google classroom atau pesan yang diberikan Ibu Guru dari whatsapp

Di satu sisi, ada banyak hal-hal positif yang dapat dibangun. Saya baru menyelami materi pembelajaran anak-anak yang terkadang mempunyai perbedaan dengan cara dahulu kala. Tak hanya itu, saya dapat bekerja sambil melihat aktivitas anak-anak. Namun di sisi lain, situasi tersebut ternyata sangat menantang.

Saat Ayah dan Ibu tengah sibuk dengan aktivitasnya, tiba-tiba si kecil menanyakan cara mengerjakan pekerjaan rumahnya. Sang Ibu-pun langsung turun tangan membantu putera-puterinya dengan sangat cekatan. 

Tak terhenti di situ, begitu selesai mengerjakan, Ibu dan Ayah saling bahu membahu meng-upload setiap pekerjaan di google classroom. Tak jarang pekerjaan kantor harus terhenti sejenak untuk memberikan ruang agar si kecil berhasil mengumpulkan tugas-tugas sekolahnya. 

Pada awal pemberlakuan pola belajar tersebut, setiap orang tua terkesan cukup tenang menghadapi rutinitas yang baru. Namun tanpa disadari, seorang Guru mengumumkan urutan siswa yang mengumpulkan tugasnya dari urutan tercepat (nomor satu) hingga yang paling terakhir mengumpulkan. 

Melihat hal itu, hati Ibu pasti terketuk, "jangan sampai anak saya menjadi yang paling terakhir mengumpulkan". Perlahan namun pasti, kecepatan dalam menyelesaikan tugas di hari-hari berikutnya menjadi meningkat cukup tajam. 

Tiap kali selesai dengan tugas dan langsung mengumpulkan, sang anak bertanya "hari ini adek urutan berapa, Ma?" atau "hari ini kakak ada di urutan berapa Ma?"

Pada konteks tersebut adrenalin pun seakan turut dipacu. Uniknya, anak-anak semakin bersemangat untuk bangun pagi. Itu berarti peran Ibu sebagai pengarah gizi keluarga harus diawali lebih pagi. 

Demikian pula sang Ayah. Ia harus bangun lebih awal untuk segera mengerjakan tugas-tugas kantor lebih cepat agar dapat membantu anak-anak belajar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline