Lihat ke Halaman Asli

Aries Heru Prasetyo

Akademisi bidang Crisis Management

Susahnya Disuruh Anteng di Rumah

Diperbarui: 14 April 2020   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar secara lebih ketat di DKI Jakarta hari ini genap berusia 5 hari. Namun sejak kemarin, beberapa berita mengungkap adanya peningkatan frekuensi warga yang beraktivitas di luar rumah. 

Tak hanya itu, cerita teman-teman di beberapa whatsapp group juga mengisahkan hal yang sama. Beberapa warga tampak tetap berangkat kerja seakan tak menghiraukan sisi kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya. 

Bayangkan saja ketika ia terkena virus lalu kembali ke rumah dan bercengkerama dengan anggota keluarga. Bila penanganan higienitas dirinya tidak begitu baik maka virus dapat dengan mudah berpindah dari satu orang ke orang yang lain. Bukan hanya dirinya yang dirugikan namun anggota keluarga serta masyarakat sekitar dapat terdampak.

"Disuruh anteng di rumah kok sulit yah?" Begitulah respon saya pada teman-teman di group. Diskusipun menjadi begitu menarik karena masing-masing anggota berusaha menguraikan alasan mengapa ada pihak yang mengesampingkan arti penting social distancing

Kalau dirunut, semua orang di saat ini butuh uang, terlebih dengan menghadapi pandemi seperti ini. Konsumsi asupan gizi pasti bertambah. Demikian pula kuota data pasti bertambah secara signifikan, baik untuk bekerja maupun untuk kebutuhan proses pendidikan anak-anak yang kini juga dilakukan dari rumah. 

Belum lagi munculnya kebijakan 'JFH' alias 'Jajan From Home'. Semakin pelik problem yang harus diselesaikan lewat sistim kerja dari rumah maka semakin aktif aktivitas JFH-nya. Di satu sisi pendapatan tetap atau bahkan menurun namun di sisi lain pengeluaran meningkat drastis. Situasi ini yang membuat saldo  tabungan seakan enggan beranjak naik.

Sejenak saya berusaha untuk menggunakan teori berpikir sistematis untuk mengurai pertanyaan tersebut. Pertama, apakah hal di rumah yang membuatnya merasa tidak nyaman sehingga harus beraktivitas di luar rumah? 

Mencari solusi atas pertanyaan ini ternyata tidak mudah sebab selama kebijakan PSBB, di rumah yang tinggal adalah semua anggota keluarga: istri dan anak-anak. Apakah kedua pihak tersebut yang menciptakan rasa kurang nyaman? Harusnya tidak. 

Uniknya, salah seorang teman di group berujar; mungkin lebih takut kepada istri daripada virus yang mematikan ini. Sejenak celotehan tersebut terkesan sangat lucu. 

Namun inilah cerminan terbesar dari masa pandemi ini. PSBB secara tidak langsung mengingatkan kita akan arti penting ikatan dalam sebuah keluarga. Sikap tenggang rasa dan saling memahami kiranya menjadi elemen vital yang membuat kita semua betah di rumah saja.

Jika faktor penyebab sudah berhasil teridentifikasi maka pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan agar oknum tersebut dapat betah di rumah? Jawabannya, ia harus menemukan seraya membangun elemen ketertarikan untuk tetap di rumah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline