Lihat ke Halaman Asli

Aries Heru Prasetyo

Akademisi bidang Crisis Management

PSBB dan Persatuan Bangsa

Diperbarui: 11 April 2020   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sampai saat ini pandemik Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Dalam satu hari, kenaikannya bisa mencapai 300. Per tanggal 9 April lalu, total kasus di Indonesia mencapai 3.512 dengan korban meninggal dunia sebanyak 306. Di wilayah DKI Jakarta sendiri, predikat sebagai epicentrum pandemik masih belum dapat dilepaskan. 

Jumlah kasus di Ibu Kota masih mendominasi 50% lebih dari total kasus di tingkat nasional. Padahal kebijakan pembatasan sosial berskala besar sudah dijalankan setidaknya selama 3 minggu. 

Realitas itulah yang membuat Kementrian Kesehatan memberi kewenangan pada pemerintah daerah untuk memberlakukan program PSBB secara lebih tegas. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 33 tahun 2020, penerapan PSBB secara resmi diberlakukan. Dengan payung hukum yang kuat serta dukungan dari TNI dan Polri, sejak 10 April kebijakan ini telah dijalankan.

Spontan, aktivitas perkantoran, operasional produksi maupun rutinitas masyarakat dibatasi. Sejumlah perusahaan merubah kebijakan kerja menjadi work from home.  

Demikian pula proses produksi sektor manufaktur. Untuk sementara waktu, kegiatan tersebut harus mengalami penghentian. Moda transportasi angkutan umum atau yang dikenal dengan angkot diijinkan beroperasi selama 6 jam, dari pukul 6.00 pagi hingga pukul 18.00 petang. Itupun dengan jumlah penumpang yang dibatasi hanya 50% dari kondisi normal. 

Hal ini tentunya akan berimbas pada pendapatan masyarakat. Belum lagi sejumlah perusahaan kini tengah menimbang opsi cuti di luar tanggungan atau pemotongan beberapa komponen gaji seperti tunjangan transportasi atau uang makan.

Situasi lebih memprihatinkan dapat dilihat pada para pekerja yang mengandalkan upah harian. Penghentian aktivitas perkantoran dan produksi secara otomatis membuat mereka kehilangan peluang untuk memperoleh pendapatan. 

Realitas yang sama juga dirasakan oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang sehari-hari menopang kebutuhan para karyawan perkantoran di bidang pangan. Penutupan operasional perkantoran akan berimbas pada penutupan warung, depot maupun restoran yang biasanya menyediakan sarapan, makan siang hingga makan malam bagi karyawan.

Kondisi saat ini harus diakui sangatlah dilematis. Terkadang kita sulit mendahulukan antara kepentingan mengendalikan pandemik dengan kebutuhan ekonomi masyarakat. Terlebih ketika kesulitan ekonomi berkaitan dengan tingkat stress yang menurunkan daya tahan tubuh sehingga potensi terserang virus semakin tinggi. Bercermin pada pandangan tersebut, di beberapa wilayah mulai menjamur aktivitas gotong-royong antar anggota masyarakat.

Ketika warung makanannya terpaksa tutup, para pedagang diajak konsumen untuk bekerjasama. Idenya sangat sederhana: di satu sisi sang pedagang butuh agar roda ekonominya terus berputar. Di sisi lain, konsumen juga dihadapkan pada kebutuhan pangan yang menuntut untuk dipenuhi. 

Skema penjualan kini diarahkan dengan menggunakan fasilitas aplikasi percakapan di whatsapp. Kali ini tak tanggung-tanggung konsumen akan menyebarluaskan informasi tentang menu-menu yang disiapkan lewat WA group mereka. Alhasil cakupan pasar yang berpeluang dilayani semakin meluas. Di titik ini sinergi antar anak bangsa memungkinkan roda ekonomi pelaku UMKM terus berputar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline