Melalui alat yang bernama Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI), peneliti dapat memindai apa yang berlangsung di dalam otak orang sewaktu mereka memandangi foto sang kekasih. Hasil scan terhadap orang yang tengah tergila-gila pada pasangannya menunjukkan adanya dorongan biologis yang kuat untuk memusatkan perhatian pada satu orang tertentu, yaitu pasangannya tadi. Aliran darah meningkat di bagian otak yang penuh dengan ujung saraf penerima dopamine, menimbulkan perasaan senang yang melambung, serupa dengan yang dialami oleh orang yang kecanduan. Bila intensitasnya tinggi, hal itu mengakibatkan pemusatan perhatian, ingatan pendek, hiperaktivitas, susah tidur, dan perilaku yang berorientasi pada tujuan. Begitulah, orang yang tengah asyik pacaran cenderung suntuk hanya memerhatikan urusan hubungan satu sama lain. Ibaratnya: dunia hanya milik mereka berdua, semua orang yang lain pada kontrak.
Menurut peneliti di University College London, orang yang sedang jatuh cinta memiliki kadar serotonin yang rendah. Kadar serotonin yang rendah ini serupa dengan yang ditemukan pada penderita gangguan obsesif-kompulsif. Apa pula itu? Bila pacar Anda setiap lima menit selalu menelepon untuk mengetahui Anda sedang berada di mana, Anda sedang melakukan apa, dan Anda sedang bersama dengan siapa---bolehlah Anda curiga bahwa ia penderita gangguan obsesif-kompulsif tak terkendali. Kalau masih terkendali, pasangan yang sedang jatuh cinta akan beranggapan ”engkau diciptakan hanya untukku, dan aku diciptakan hanya untukmu”; tak sudi berbagi dengan yang lain.
Cinta romantis berpotensi menimbulkan ketagihan. Pacaran menjadi sarana pemuasan untuk mengejar gelora romantisme belaka. Celakanya, orang yang ketagihan biasanya dirundung the law of diminishing return. Artinya, semakin sering hal yang menimbulkan ketagihan itu dilakukan, justru makin berkurang kepuasan yang dihasilkannya. Orang bisa bergonta-ganti pacar, berharap hubungan dengan pasangan yang baru memberikan sensasi romantis yang lebih hebat daripada hubungan sebelumnya. Ketagihan mungkin pula dicoba dipuaskan dengan meningkatkan kadar keintiman.
Saat orang kehilangan “akal sehat” karena terbuai oleh sensasi romantis jatuh cinta, ia rentan terhadap mitos-mitos cinta. Ia memandang cinta serba dari sisi yang romantis belaka. Menawarkan khayalan yang melambung, namun diterima orang begitu saja sebagai kebenaran, tanpa diuji secara sungguh-sungguh.
Mitos #1: JODOH ADA DI TANGAN TUHAN
Jodoh ada di tangan Tuhan, menurut saya, tidak dapat diartikan secara sempit seperti itu. Benarkah Tuhan hanya menciptakan satu orang yang istimewa, yang secara khusus disiapkan-Nya sebagai belahan jiwa kita, dan bila kita tidak menemukan dan menikah dengan orang itu, kita tidak akan mengalami pernikahan yang berbahagia? Tampaknya tidak seperti itu.
Jodoh di tangan Tuhan mestinya dimaknai secara luas: bahwa seluruh proses proses perjodohan kita berada dalam tangan pemeliharaan dan bimbingan Tuhan. Tuhan tidak menyediakan jodoh khusus bagi kita, tetapi Dia memaparkan bimbingan dan nilai-nilai yang kita perlukan untuk mencari jodoh. Kenapa? Lebih dari sekadar untuk kebahagiaan kita, pernikahan dirancang oleh Tuhan sebagai sarana untuk memuliakan Dia. Melalui petunjuk-Nya, Tuhan akan menuntun kita untuk membangun bersama dengan pasangan kita suatu hubungan yang menjadikan kita semakin efektif dalam melayani Dia.
Mitos #2: Cinta Mampu Mengatasi Segalanya
Benarkah cinta mampu mengatasi segalanya? Jawabannya antara lain terpampang di acara-acara infotainment. Bertubi-tubi muncul kabar tentang pasangan selebritas yang semula tampak mesra, namun akhirnya angkat tangan, merasa tidak menemukan titik temu satu sama lain lagi, dan memilih memutuskan hubungan pernikahan mereka. Bukan hanya di kalangan selebritas, keluarga-keluarga pada umumnya juga tidak sedikit yang berantakan akibat perceraian. Ambil contoh di daerah saya sendiri. Menurut catatan Kedaulatan Rakyat, kasus perceraian di Pengadilan Agama Sleman, Yogyakarta, pada 2003 sebanyak 696 perkara, pada 2004 sebanyak 722 perkara, dan pada 2005 sebanyak 803 perkara. Jumlahnya meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. Alasan yang banyak dikemukan adalah tidak adanya lagi kecocokan.
Kalau benar cinta itu mengalahkan segalanya, kenapa terjadi banyak perceraian? Kenapa cinta tidak mampu menahan terpaan badai masalah---entah itu bernama ketidakcocokan, entah kesulitan ekonomi, entah perselingkuhan?
Sederhana saja. Cinta saja tidak cukup untuk membangun dan mempertahankan hubungan di antara dua anak manusia. Bagaimana sesuatu yang bisa memudar (”Aku tak mencintainya lagi!”) bisa mengalahkan segalanya.
mitos #3: cinta sejati dapat dikenali dari pandangan pertama
Cinta pada pandangan pertama itu barangkali mirip dengan iklan suatu-produk. Yang tampak menonjol hanya sisi yang indah-indah, kehebatan dan keunggulan produk bersangkutan. Kalau kita tidak teliti sebelum membeli, bisa-bisa kita mendapatkan produk yang ternyata tidak sebagus yang kita harapkan. Kita jadi kecewa dan jengkel.
Karena itu, cinta pada pandangan pertama masih perlu diteliti kualitasnya. Masih perlu diuji daya tahannya, apakah mampu menghadapi rintangan dan tantangan. Cinta yang otentik, dengan begitu, perlu waktu untuk bertumbuh dan berkembang.
mitos #4: Pasangan hidup akan memenuhi kebutuhan saya seutuhnya
Tidak ada seorang pun yang begitu hebatnya sehingga ia dapat menyempurnakan kekurangan orang lain. Kita masing-masing manusia yang terbatas dan tidak sempurna. Kita memang bisa bekerja sama, saling mendukung, dan saling menolong, namun kita tidak akan pernah mampu memenuhi kebutuhan satu sama lain secara utuh, lengkap, dan sempurna.
Kalau kita kesepian sebelum menikah, kita akan tetap---bahkan bisa jadi bertambah---kesepian setelah menikah. Kita memang kurang lengkap dan kurang sempurna. Namun, bila kekurangan itu sampai sedemikian mencekam kita, berarti ada yang tidak beres dengan gambar diri kita.
Siapa yang dapat memecahkan masalah ini? Hanya satu yang sanggup mengisi kehampaan hidup kita secara sempurna, yaitu Tuhan. Melalui pemulihan Tuhan, kita akan menemukan kehidupan yang utuh dan bermakna. ***
Artikel ini merupakan versi ringkas dari salah satu bab buku Arie Saptaji, Pacaran Asyik dan Cerdas (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2010, Cetakan Kedua). Anda dapat membaca bab tersebut secara utuh di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H