Lihat ke Halaman Asli

A Tale of Two Gardens

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13032144601951413501

[caption id="attachment_103442" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi oleh Yosua Agustinus Sirait"][/caption]

Taman Getsemani.

Tampaknya kita akan memahami lebih jauh taman ini bila mengaitkannya dengan taman lain yang ada ribuan tahun sebelumnya: Taman Eden.

Keduanya berkaitan erat.

Keduanya seperti sepasang tembang yang sahut-menyahut.

Masing-masing menandai suatu titik penting dalam sejarah hubungan Allah dengan ciptaan yang paling dipedulikan-Nya: kita manusia.

Di taman yang pertama, Allah menempatkan anak-anak-Nya yang pertama. Taman yang sungguh amat elok, penuh dengan pepohonan yang menarik dan baik untuk dimakan, dan dialiri empat sungai yang berlimpah. Di taman itulah Allah membangun persekutuan yang penuh kasih dengan anak-anak-Nya itu karena Dia merindukan mereka bertumbuh menjadi serupa dengan gambar-Nya: melalui ketaatan kepada perintah-Nya. Perintah-Nya, sekalipun keras, mendatangkan kehidupan; sebaliknya, ketidaktaatan mendatangkan kematian, keterpisahan dari hadirat-Nya.

Dan, di taman itu, anak-anak Allah memilih jalan pemberontakan. Mereka menolak hubungan kasih itu. Mereka memilih untuk menentukan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat.

Taman Eden menyaksikan kegagalan manusia untuk taat.

Di taman yang kedua, Allah menempatkan Anak tunggal-Nya. Taman tempat biji-biji pohon zaitun dihancurkan dan diperas sehingga menghasilkan minyak yang berguna untuk penerangan, bahan makanan, atau bahkan obat penyembuh. Di taman itulah Anak Allah menjadi Biji Zaitun yang diremukkan. Dia datang dengan misi mengundang dan mengajak pulang anak manusia yang terhilang dan tersesat karena mengikuti jalannya masing-masing. Dia datang untuk mengumandangkan: pintu rumah Bapa terbuka lebar bagi siapa saja yang mau kembali.

Untuk itu, di Taman Getsemani Yesus Kristus harus membayar harga yang teramat mahal. Dia gentar dan merasa sendirian. Dia ketakutan. Anak Allah—ketakutan! Dia memilih untuk menanggung beban yang paling berat, kesengsaraan yang paling pedih, jalan yang paling rumpil. Tiga kali ia berdoa, meminta agar cawan itu dilakukan daripada-Nya. Tiga kali Dia memohon. Namun, kesunyianlah yang menjawab-Nya. Orang-orang yang diharapkan turut melipur-Nya—tertidur, tak sanggup berjaga-jaga bersama-Nya. Dia harus menempuh jalan itu seorang diri.

Di Taman Getsemani Dia bergumul. Di malam yang tuli itu.

Untuk memulihkan hubungan yang terkoyak antara Allah dan anak-anak manusia yang pemberontak. Untuk membayar harga tebusan dosa dan memperlihatkan dosa betapa parah dosa itu telah menyeret manusia ke dalam kebobrokan. Untuk menyatakan betapa lebarnya, betapa panjangnya, betapa tingginya, dan betapa dalamnya kasih, kesabaran, dan pengampunan Bapa. Dia—Anak domba Allah yang tidak bercacat dan tidak bercela—harus mencurahkan darah-Nya. Dan, Bapa akan menahan tangan pertolongan-Nya.

Akhirnya, Dia mempersembahkan kehendak-Nya—agar kehendak Bapa-Nyalah yang terjadi.

Dia meminum cawan itu.

Taman Getsemeni menyaksikan pergumulan Anak Allah—sampai menitikkan keringat darah—untuk berserah.

Eden berarti ”tempat kesukaan.” Namun, di situ berlangsung pemberontakan anak manusia—dan melahirkan lagu ratap kesengsaraan.

Getsemani berarti ”tempat pemerasan.” Namun, di situ berlangsung penyerahan diri Anak Allah—dan melahirkan lagu sukacita kemenangan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline