Lihat ke Halaman Asli

Agama yang Membunuh

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12970674561633916809

Dalam Prolog untuk buku Atas Nama Agama, Bambang Sugiharto menyampaikan pengamatan yang jitu tentang salah satu akar penyebab konflik antaragama.Kemelut dalam tubuh masing-masing agama sendiri, menurut dia, seringkali memproyeksi ke luar. Sikap agresif berlebihan terhadap pemeluk agama lain seringkali merupakan ungkapan yang tak disadari dari chaos dan ketegangan dalam tubuh agama itu sendiri.

Sejak awal sejarah manusia hingga era modern ini, agama tampaknya merupakan “mesin pembunuh” paling keji yang justru disakralkan. Pembunuhan pertama, Kain atas Habel, tak lain merupakan buah dari kegelisahan beragama.

Banyak agama yang bermunculan kemudian menampilkan sosok “Tuhan” sebagai penguasa bengis yang haus darah dan menuntut kurban manusia. Sampai kini, tidak sedikit orang yang tidak segan-segan membunuhi sesamanya, konon demi merebut “tiket ke surga”.

Di tangan agama semacam itu, harkat dan martabat manusia merosot begitu rendah. Agama gagal memuliakan manusia. Humanisme sekuler (“agama” modern, namun akarnya sejak kejatuhan manusia di Taman Firdaus), misalnya, justru mempertanyakan apakah janin itu sudah manusia atau belum. Alih-alih menghidupkan, agama justru membunuh manusia.

Yesus sendiri menghadapi sistem keagamaan semacam itu. Ia membangkitkan kegeraman para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, golongan paling alim pada masa itu. Ia menjungkirbalikkan tradisi mereka yang canggih berbelit-belit dan lebih cenderung membelenggu daripada memerdekakan.

Ketika mengisahkan penyembuhan di kolam Betesda, Yohanes memberi catatan menarik atas pelayanan Yesus. “Tetapi hari itu hari Sabat” (Yohanes 5:9b). Diperlihatkan, orang-orang Yahudi dengan sengit lebih meributkan pelanggaran atas tradisi Sabat daripada turut bersuka cita atas kesembuhan ajaib seseorang yang telah sakit selama 38 tahun.

Menghadapi kebebalan legalistik ini, di tempat lain Yesus menegaskan, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Markus 2:27). Pernyataan ini menelanjangi legalisme yang lebih menekankan aspek-aspek lahiriah keberagamaan, yang justru tidak menjawab hakikat persoalan umat manusia.

Persoalan manusia bukanlah bersumber dari luar sana. Chaos tersebut ada di dalam diri manusia itu sendiri. Musuh kita bukan orang lain, bukan darah dan daging. Seperti dikatakan Alexander Solzhenitsyn, “Seandainya saja ada orang-orang jahat yang dengan busuk hati melakukan perbuatan jahat di suatu tempat, yang kita perlukan hanyalah memisahkan mereka dari umat manusia lain dan kemudian membinasakan mereka. Namun, garis yang memisahkan antara yang baik dan yang jahat menembus hati setiap umat manusia. Siapakah yang rela membinasakan sepenggal hatinya sendiri?”

Dengan demikian, yang diperlukan manusia bukanlah seperangkat hukum yang lebih ketat, yang justru membangkitkan fanatisme buta. Kita memerlukan anugerah yang sanggup mengubah kehidupan kita dari dalam.

Itulah yang ditawarkan Yesus. Kedatangan-Nya sendiri digambarkan sebagai penuh dengan anugerah dan kebenaran (Yohanes 1:14). Anugerah itulah yang pada gilirannya akan memulihkan manusia ke dalam harkat dan martabatnya yang sesungguhnya sebagai citra Tuhan.

Untuk misi-Nya tersebut, Yesus dicurigai, dibenci dan akhirnya dibunuh di kayu salib. Namun, kayu salib tidaklah mengakhiri misi-Nya; kayu salib justru menggenapinya. “Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu” (Efesus 2:14-16).

Salib – kematian terhadap “penggalan hati” kita yang jahat – merupakan jalan untuk membebaskan diri dari agama yang membunuh. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline