Sore tadi, saya kaget sekali membaca sebuah berita dari Kompas TV. Judulnya yahud sekali "Tumpah Ruah, Ini Perkiraan Besaran THR hingga Tunjangan PNS 2022". Saya lalu membaca isi beritanya dan bingung sendiri tumpah ruahnya di sebelah mana. Sebab kebijakan THR PNS 2022 itu masih sama dengan 2020 dan 2021 yaitu gaji saja tanpa Tunjangan Kinerja. Sebagai gambaran, pada berita tersebut disebutkan bahwa PNS Golongan IVe (alias golongan paling pucuk di hierarki PNS yang tidak semua orang bisa sampai ke kasta itu) rentang gaji pokoknya adalah Rp3.593.100 sampai dengan Rp5.901.200. Kalau golongan elite saja segitu, kita tentu bisa mengkalkulasi sendiri untuk kalangan akar rumput atau bahkan umbi-umbian, berapa sih THR yang akan mereka dapatkan dan sejujurnya saya belum tahu tumpah ruahnya di sebelah mana~
Ihwal pemberitaan media online soal gaji PNS itu makin lama makin mengesalkan. Para PNS lama-lama bahkan paham media daring mana saja yang wartawan dan editornya semacam benci sampai ubun-ubun dengan PNS hingga setiap berita soal gaji PNS selalu mendapat tambahan kata-kata ciamik seperti 'tumpah ruah', 'menang banyak', dan sejenisnya. Seringkali terjadi isi beritanya adalah tentang tunjangan fungsional bagi satu atau dua Tunjangan Jabatan Fungsional Tertentu (JFT). Seperti misalnya berita berjudul "Jokowi Beri Kejutan Lagi, Tunjangan untuk PNS Ini Naik". Padahal berita itu hanyalah kenaikan Tunjangan Fungsional untuk 4 JFT. Iya, EMPAT dari begitu banyak JFT di Indonesia.
Saya ada kisah seorang PNS 35 tahun yang menjalankan berbagai peran sekaligus. JFT iya, Koordinator (sebagai dampak penyederhanaan birokrasi) juga iya, plus Pejabat Pembuat Komitmen juga. Oya, dia masih JFT Pertama ketika disuruh jadi Koordinator. Secara umum Koordinator itu semacam Pejabat Eselon III atau IV namun karena Koordinator itu hanyalah pemeranan belaka maka kerjaannya ada tapi benefit finansialnya sama sekali nihil. Maka, PNS yang saya kisahkan ini mendapat gaji JFT tingkat Pertama namun kerjaannya mendekati JFT tingkat Madya. Apa dia protes? Katanya sih ingin protes, tapi nggak tahu harus protes ke siapa. Model begini sedang banyak terjadi di Indonesia dan kalau dibiarkan berlarut-larut sebenarnya sangat tidak sehat bagi birokrasi negeri ini ketika ada seseorang yang dibayar di bawah standar pekerjaan yang dia lakukan. Tapi apakah ada wartawan media daring yang menuliskan hal tersebut?
Nggak ada.
Ihwal kenaikan gaji PNS juga selalu menjadi bahan yang tidak habis untuk ditulis. Kadang-kadang, wacananya duluan, kemudian PNS-nya dirundung duluan, lalu naik gajinya nggak jadi. Sedihnya adalah kadang-kadang kenaikan gaji itu hanya 50-100 ribu, tapi perundungan ala media dengan pemberitaan menggunakan judul-judul bombastis ini berasa gajinya naik 2 kali lipat. Padahal, 50 ribu itu paling-paling hanya cukup untuk menambal kenaikan harga Bright Gas (25 ribu) plus kenaikan harga Pertalite 2-3 kali ngisi bensin.
Kembali ke tumpah ruah itu tadi. Dengan THR yang nilainya secara umum ada di kisaran 2-3 juta tersebut, bagi banyak PNS jumlah tersebut benar-benar hanya numpang lewat. Banyak dari mereka yang menggaji Pekerja Rumah Tangga dengan nominal tersebut dan kadang-kadang itu berarti THR tersebut benar-benar hanya habis untuk membayar THR PRT-nya. Boro-boro dipakai untuk keperluan mudik, dll. Dalam hal ini, PNS yang menikah dengan Karyawan Swasta malah jadi agak lebih bahagia karena setidak-tidaknya dalam rumah tangga itu ada yang THR-nya full. Lumayan untuk melanjutkan hidup.
Saya sangat memahami bahwa PNS itu pasti jadi pusat kritik dan sasaran tembak. Saya juga benci sekali sama PNS yang kerjaannya nggak jelas tapi dapat gaji sama persis dengan yang kerjaannya tumpah ruah. Nyatanya, dengan konsep reformasi birokrasi yang berjalan sekarang, singkatan kondang PGPS (Pinter Goblok Pendapatan Sama) masih saja terjadi, persis seperti yang pernah disebut oleh mantan Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil beberapa tahun lalu bahwa kinerja PNS itu masih diukur dengan absensi belaka, bahkan untuk Doktor sekalipun. Sekarang sih sudah lumayan, sudah ada SKP dan segala dinamika serta perkembangannya yang mulai mewujudnyatakan kinerja-kinerja PNS untuk perhitungan tunjangan kinerja. Dan apakah ada wartawan media daring yang menuliskannya?
Ada, sih. Tapi judulnya: "Dear PNS, Kalau Kinerjanya Buruk Bisa Dipecat Lho". Padahal konsep cascading Perjanjian Kinerja hingga pada konsep Matriks Peran dan Hasil yang sekarang sedang dikembangkan oleh PNS sesuai dengan Peraturan Menteri PAN dan RB adalah hal yang sangat bisa dibahas, dikulik, dan didalami alih-alih menggoreng sana-sini soal pendapatan PNS. Nyatanya, terlepas dari selalu adanya berita semacam itu, kolom komentar baik di media itu sendiri hingga media sosial tidak jauh-jauh dari tulisan PNS yang marah pada judul berita yang cenderung menyesatkan.
Sebagai penulis, saya sangat paham bahwa judul itu penting dan krusial untuk menggaet pembaca. Hanya saja, ketika esensi kemudian dikaburkan oleh judul dan kadang-kadang pemberitaannya juga bukan lagi cover both side sebagaimana yang belasan tahun lalu saya pelajari di kelas Jurnalistik, rasanya kok sayang sekali. Maka tidak heran jika ada kenalan yang merupakan mantan pembesar salah satu media daring terkemuka nasional lantas keluar dari lingkaran kerja tersebut karena menurutnya iklim yang ada sudah tidak lagi sehat. Saya juga paham tuntutan pekerjaan bagi para wartawan media daring, namun rasanya para wartawan dan para editor juga perlu memahami dampak psikologis dari judul yang mereka buat.
Ada dinamika besar sejatinya di kalangan civil servant Indonesia. Mulai dari bureaucracy bashing, disparitas Tunjangan Kinerja baik pusat dengan daerah hingga sesama instansi pusat yang selalu jadi bahan perdebatan, upaya-upaya reformasi birokrasi itu sendiri, kondisi pola karir PNS pasca penyederhanaan birokrasi, dan banyak lagi isu lainnya. Sesungguhnya hal-hal semacam ini juga menarik untuk ditulis maupun dianalisis serta lantas ditampilkan ke publik oleh media daring, tanpa perlu harus terus-menerus menggoreng gaji dan THR PNS yang nominalnya per individu itu termasuknya masih pas-pasan menuju cukup itu. Judul-judul nista dari para juru warta itu pada akhirnya hanya akan menjadi asam yang diteteskan pada luka para PNS terutama kalangan umbi-umbian.