Benarkah BPOM Izinkan Ivermectin Jadi Obat Terapi COVID-19? - Urusan obat yang tersusun dari 47 C, 72 H, dan 14 O bernama ivermectin benar-benar belum kelar menjadi pembahasan di negeri ini. Apalagi jika kemudian ditunjang dengan pemberitaan yang kadang-kadang menyebabkan diskursus menjadi semakin panjang dan keributan di akar rumput, ya setidaknya di kolom komentar berita hingga di media sosial, nggak kelar-kelar. Sedih.
Salah satu judul berita yang bikin saya kaget siang tadi adalah "BPOM Izinkan Ivermectin Jadi Obat Terapi COVID-19". Kompas.com membuat judul "Surat Edaran BPOM Soal Penggunaan Ivermectin yang Dibantah Ketua BPOM". Artikel tersebut diterbitkan pada 15 Juli 2021 pukul 11.00 dan kemudian diperbaiki pada pukul 14.50.
Surat Edaran dan Konteksnya
Asal muasal pemberitaan ini adalah Surat Edaran Nomor PW.01.10.3.34.07.21.07 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Distribusi Obat Dengan Persetujuan Penggunaan Daruat (Emergency Use Authorization). Surat ini bertujuan untuk memperjelas penerapan pelaksanaan EUA dan juga menjadi bentuk upaya memonitor potensi kelangkaan obat yang memang tengah terjadi. Hal itu tentu relevan sebagai bagian upaya pemerintah menjaga akses obat berikut harganya yang tengah menjadi fokus hari-hari ini. Termasuk juga teman-teman saya di apotek yang beberapa kali didatangi aparat penegak hukum untuk memastikan ketersediaan barang berikut harganya.
Suratnya ada 4 halaman dengan penjelasan yang cukup detail, setidaknya menurut saya. Persoalannya kemudian yang diangkut dan dibawakan ke publik adalah sebatas judul pada halaman 1 dan daftar 8 obat pada halaman 4. Sehingga seolah-olah ke-8 obat tersebut sudah dapat EUA dan sudah diotorisasi untuk COVID-19. Padahal, dengan pengecekan mandiri kita sebenarnya dapat melihat bahwa obat-obat yang sudah mendapat EUA itu hanya Remdesivir dan Favipiravir pada bulan September 2020.
Padahal lagi kalau mau cek suratnya, pada nomor 6 disebut bahwa "Sehubungan dengan terjadinya kelangkaan obat mendukung terapi COVID-19, termasuk obat yang diberikan EUA....", jadi sebenarnya lagi kalau mau mencerna dengan baik maka para pembaca surat dapat membagi daftar 8 obat di halaman 4 itu menjadi 2 bagian besar yakni remdesivir dan favipiravir sebagai obat yang sudah dapat EUA, plus oseltamivir, immunoglobulin, ivermectin, tocilizumab, azithromycin, dan dexametason (tunggal) sebagai obat yang mendukung terapi COVID-19 tapi sampai sejauh ini tidak ada EUA yang secara spesifik menyatakan bahwa obat-obatan tersebut diotorisasi sebagai obat COVID-19.
Apalagi kemudian per 14 Juli 2021, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah mengirimkan surat ke Kementerian Kesehatan perihal revisi protokol tatalaksana COVID-19 yang antara lain mengatur kembali ketentuan penggunaan oseltamivir dan azithromycin, dua jenis obat yang muncul pada daftar.
Pada dasarnya urusan ivermectin masih tidak berubah dari informasi awal Juli 2021 bahwa tengah dilakukan uji klinik pada 8 rumah sakit, penggunaan di luar skema uji klinik dapat dilakukan sesuai dengan hasil pemeriksaan dan diagnosa dokter, plus jika memang diberikan pada pasien oleh dokter maka penggunaannya sesuai protokol uji klinik yang disetujui.
Dan sebenarnya pula pemberitaan Kompas sudah menyebut soal Expanded Access. Gambaran umum Expanded Access dapat dibaca di situs web FDA berikut ini, tapi intinya sih Expanded Access ditujukan untuk pasien maupun fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak memiliki akses pada uji klinik obat yang belum disetujui untuk indikasi penyakit yang diajukan. Jadi, perlu ditekankan bahwa jika nomor izin edar (dalam kondisi normal) atau EUA (dalam kondisi darurat) diberikan kepada industri farmasi, maka Expanded Access diberikan pada institusi maupun fasilitas pelayanan kesehatan.
EUA dan Administrasi Publik