Kompasiana memang terbilang ciamik dalam meramu sebuah kegiatan. Sudah tidak terhitung tokoh yang menjadi topik dan hadir pada agenda-agenda Kompasiana, mulai dari calon presiden, anggota DPR, hingga kini seorang Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Acaranya sendiri dihelat pada tanggal 29 Agustus2016 di ruang rapat pimpinan, gedung Bappenas dekat Taman Suropati.
Acara ini menjadi menarik karena sang menteri merupakan salah satu produk reshuffle Kabinet Kerja jilid 2, sedangkan Bappenas sendiri pada kocok ulang jilid 1 juga mengalami pergantian kepemimpinan. Menjadi hal yang menarik untuk mengetahui posisi sebenarnya dari Bappenas, menurut sang pemimpin sendiri.
Pada hari yang sama, Bambang Brodjonegoro juga memiliki agenda rapat di DPR. Bagi yang pernah mengerti tentang rapat di DPR pasti paham jika kemudian sang tuan rumah tiba ke lokasi pada pukul 7 malam, lebih sedikit. Satu hal kecil yang menurut saya menarik dan menjadi bukti bahwa primordialisme di birokrasi secara perlahan berkurang adalah kala Pak Bambang meminta kepada panitia (atau mungkin protokolnya) untuk berbicara sembari audience makan. Buat saya ini hal kecil, tapi cukup penting.
Sesudah semuanya makan dan menyisakan kunyahan-kunyahan kecil serta denting sendok yang mulai minimal, Pak Bambang memulai paparannya. Hal yang menarik adalah bahwa Pak Bambang mengangkat perbedaan posisi Bappenas di masa kini dengan Bappenas era Orde Baru, terutama pada awal mula orde tersebut.
Bappenas dahulu adalah lembaga yang powerful. Patut dipahami bahwa dengan adanya krisis ekonomi pada awal mula Orde Baru, diperlukan upaya yang luar biasa. Salah satunya adalah segala kebijakan harus diikuti tanpa komplain. Bappenas pada masa lalu adalah panglima. Dari struktur APBN juga berbeda karena dahulu ada yang disebut APBN rutin yang dikelola Kementerian Keuangan dan APBN Pembangunan yang mutlak diatur oleh Bappenas.
Saat ini, tentu pola seperti Orde Baru tidak bisa di-copy 100%, terlebih setelah reformasi ada otonomi daerah sehingga yang tadinya sentralistik menjadi terdesentralisasi. Pak Bambang menyebut bahwa, "Bappenas saat ini adalah Bappenas yang bisa menempatkan diri dalam konteks demokrasi dan desentralisasi". Poin pentingnya adalah perencanaan pembangunan nasional dapat berjalan tanpa mengabaikan janji pemimpin daerah pada pemilihnya.
Waktu periode awal Orde Baru, Indonesia termasuk negara miskin. Tahun 1990-an seiring booming ekonomi kita waktu itu, ekonomi kita naik jadi lower-middle class dan berlangsung terus sampai terjadi krisis ekonomi Asia dan mengembalikan ekonomi kita ke tingkat bawah. Di sinilah kita terjebak di middle income trap, di tengah terus dan tidak naik-naik. Kesinambungan ini butuh waktu proses sehingga tetap diperlukan perencanaan jangka panjang (25 tahun). Patut diingat bahwa dalam 25 tahun bisa saja terjadi 5 pemerintahan yang berbeda dengan visi misi masing-masing. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dituangkan kembali dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Jadi jika nanti Presiden Jokowi terpilih lagi, akan ada RPJM lagi, yang sesuai dengan RPJP.
Pak Bambang kemudian menyebut bahwa selagi negara kita masih tergantung pada komoditas, akan sulit bagi ekonomi kita untuk melaju kencang. Dengan komoditas ini jatuhnya kita seperti orang kaya tapi musiman, tergantung harga komoditas. Di sinilah transformasi ekonomi menjadi penting. Paling gampang, Pak Bambang memilih contoh komoditi minyak yang dalam 1 tahun turun kurang lebih 100 Dollar.
Dalam ekonomi Indonesia, peran kepala daerah dan memajukan ekonomi daerah menjadi begitu penting. Otonomi daerah bukanlah sekadar bagi-bagi kewenangan, namun desentralisasi ekonomi, yang pada akhirnya terakumulasi ke pusat dan ke negara secara keseluruhan.
Dimensi daya saing juga menjadi penekanan pembangunan bangsa. Dahulu, ekonomi kita bertumbuh selain karena ditopang komoditi, tapi juga karena manufaktur terutama tekstil, garmen, elektronik, dan sepatu berkembang pesat sebagai akibat dari pergeseran ekonomi dengan relokasi manufaktur dari Asia Timur ke Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Hingga kemudian segala sesuatu yang bagus hilang semua pada tahun 1998.
Apalagi Indonesia punya bonus demografi dengan banyaknya generasi muda, dan mereka itu semua harus bekerja. Tugas pemerintah dan pembangunanlah untuk menyediakan lapangan kerja, dengan mendorong perekonomian sehingga secara langsung generasi pekerja ini terserap.