Lihat ke Halaman Asli

Alexander Arie

TERVERIFIKASI

Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Gadget: Benda Mati Untuk Hidup

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gadget, benda-benda mati itu sekarang beredar luas dan bahkan bertanggung jawab langsung pada kelangsungan banyak makhluk hidup. Handphone, Laptop, PDA, atau apapun itu, mereka nyata-nyata benda mati, dibanting juga rusak. Tapi hitung berapa banyak benda hidup yang merasa tidak bisa hidup tanpa benda-benda mati itu.

Saya sedikit mau berbagi saja sedikit milestones hidup saya soal gadget.

Gadget pertama yang saya tahu adalah tamagochi pinjaman dari teman.

Itu pengalaman pertama soal gadget.

Jaman dahulu kala, saya pernah jalan kaki dari sekolah ke rumah pada malam hari, gara-gara bapak saya tidak menjemput di sekolah. Jadilah saya menyusuri Jl. Sudirman Bukittinggi sampai ke rumah di Pulai Anak Air. Sebenarnya sih tidak jauh-jauh amat, cuma nuansa di malam buta tentu beda.

Atau pada jaman yang sama, ketika nenek saya meninggal. Saya mendapatkan kabar itu dari tetangga di ujung kompleks yang adalah satu-satunya pemilik telepon rumah di situ. Untunglah kebetulan yang punya rumah adalah wali murid bapak saya, jadi nebeng telepon masih dimungkinkan.

Itu kejadian waktu rumah saya belum punya telepon rumah.

Masih jaman dahulu kala, saya merantau ke Jogja. Setiap awal bulan, saya bisa bolak-balik ATM 5-7 kali. Untuk apa? Saya benar-benar butuh duit bulanan, maklum anak kos. Dan saya tidak tahu, apakah bapak saya sudah mengirim uang kehidupan itu atau belum. Satu-satunya cara ya cek saldo. Maka di awal bulan yang fana itu, saya bisa 5-7 kali antri panjang, karena ternyata banyak pelajar dan mahasiswa yang senasib dengan saya. Dan saya bisa 4-6 kali kecele karena saldo yang dimaksud masih 20 ribuan alias belum ada kiriman. Nah, giliran sudah dapat, maka saya akan lari ke wartel dan lantas menelepon ke rumah dengan biaya bisa 10 ribu untuk pembicaraan beberapa menit saja.

Itu kejadian waktu saya belum punya handphone.

Akhirnya di kelas 3 SMA saya punya handphone. Tapi masih satu berdua dengan adik saya. Maka hidup saya adalah seminggu ber-gadget dan seminggu tidak. Begitu seterusnya. Nah, suatu kali saya mudik, naik pesawat dalam keadaan sadar untuk pertama kalinya sejak usia 2 tahun (Padang-Jakarta-Jogja). Dan jatah handphone ada pada adik saya. Nah lo... maka saya melakoni perjalanan itu tanpa gadget betul-betul. Bahkan jam pun saya nggak punya. Tapi nyatanya ya sampai-sampai saja kok ke Jogja.

Itu kejadian waktu saya sudah punya handphone tapi masih setengah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline