Lihat ke Halaman Asli

Alexander Arie

TERVERIFIKASI

Lulusan Apoteker dan Ilmu Administrasi

Relawan Bencana: Antara Niat, Proses, dan Hasil

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relawan itu tampaknya sederhana, padahal isinya jauh lebih dalam. Relawan tanggap darurat bencana yang langsung on site lokasi butuh pengetahuan dan kemampuan dasar penanganan pada kondisi tersebut. Relawan yang bekerja di penyediaan makanan pengungsi juga harus paham menyediakan makanan yang tepat untuk orang yang banyak. Relawan di pengungsian macam Merapi misalnya, butuh kemampuan pendekatan psikologis yang mumpuni untuk tetap menyemangati para pengungsi. Demikian pula dengan relawan yang bertugas di posko bantuan, ilmu supply chain-nya juga harus jalan.

Saya nggak sering jadi relawan, tapi pernah beberapa kali, utamanya terkait Gempa Jogja 2006. Pada erupsi Merapi 2010, saya sudah berdomisili di Palembang, namun sempat ikut melihat kondisi tempat adik saya menjadi relawan di Stadion Maguwaharjo Sleman.

Relawan terkait fisik biasa dibutuhkan di awal kejadian bencana. Hal simpel, waktu saya pertama kali datang ke RS ketika gempa 2006, pasien banyak tergeletak di lantai dengan rata-rata patah tulang. Bergerak saja sakit. Kadang untuk kenyamanan mereka butuh bergeser. Hal simpel, menggeser pasien yang tergeletak di alas tidur tipis di lantai rumah sakit, kalau tidak dilakukan dengan benar, justru malah menimbulkan sakit. Sudah sakit, tambah sakit. Jangan sampai deh! Niat memang boleh, tapi kalau memang tidak paham, ya janganlah ikut.

Atau hal simpel lain dalam pelayanan distribusi infus di farmasi misalnya, kadang relawan justru bikin bingung petugas yang sudah bingung. Nanti, namanya manusia, ujung-ujungnya malah emosi jiwa. Ini juga jangan. Niat membantu kok malah emosi. Di masa recovery gempa 2006, saya dimarahi apoteker di RS Sardjito (belakangan jadi dosen saya.. malu dah.. hehe..) karena potong kompas prosedur minta obat. Bahwa ada prosedur yang harus diketahui, ada ketentuan-ketentuan yang kudu dipahami, untuk mampu bertugas.

Yang paling miris itu kalau jadi relawan ikut teman. Waktu erupsi Merapi 2010, ada teman yang berkisah bahwa di salah satu Rusunawa, jumlah relawannya lebih banyak daripada jumlah pengungsi! Ini pengungsi yang mau ngurusi relawan? Heh? Banyak sebab karena ingin ikut teman. Jadilah satu geng nongkrong di satu posko, padahal ada banyak posko lain yang butuh bantuan juga.

Lain lagi, bagaimanapun pikirkan pula diri sendiri. Ada yang saking asyiknya bertugas, lupa makan. Jadinya? Dalam 2 hari malah terkapar sakit. Ada benernya, karena jatah pengungsi kurang, dan bantuan juga terbatas, jadi mendahulukan pengungsi. Tapi relawan biasanya punya kemampuan lebih dalam menangani diri sendiri.

Relawan dalam penanganan bantuan malah butuh rasa yang lebih. Asal tahu, nggak semua yang membantu itu tulus. Saya geleng-geleng kepala waktu gempa 2006, di salah satu tempat bertugas, di tengah malam terima obat Lidokain bantuan yang ED-nya 2004, alias sudah ED 2 tahun. Petugas berpikir global, namun relawan perlu berpikir sampai ke detail macam ini.

Relawan juga perlu membenarkan niat. Beneran niat membantu atau nggak? Ada juga kasus, relawan yang tiap pulang dari posko ngutip mie, selimut, dll. Itu ada loh. Geleng-geleng saya. Kalau berlebih macam di salah satu posko di Jogja waktu tsunami Aceh 2004, itu lain hal. Tapi jangan waktu bencana, tiap berangkat, pulang malah bawa barang.

Itulah, niat harus baik. Proses juga harus ditunjang oleh kemampuan atau setidaknya pengetahuan. Hasilnya? Sebuah ucapan terima kasih dari pasien atau tawa hangat pengungsi adalah ganjaran setimpal. Hasil lain? Kesenangan hati tentunya. Meski capek keliling-keliling dan kadang nggak makan berikut nggak mandi (kalau kejadiannya macam gempa Jogja 2006). Apresiasi kadang ada, kadang juga tidak. Nggak terlalu pentinglah. Setidaknya, kalau yang bertugas di lapangan benar, itu mungkin memang perlu, tapi sebatas perlu saja loh. Kalau minta apresiasi fisik, ya jangan mengaku sebagai relawan. Miris hati nanti. Hehe.

Oya, baju putih saya di foto profil Kompasiana adalah pemberian dari Jesuit Refugee Service dengan tulisan Volunteer. Diberikan beberapa pekan setelah bencana, ketika kondisi mulai damai. Sebatas bentuk rasa terima kasih. Masih bagus sampai sekarang. Lumayan untuk mengenang masa muda.

Relawan harus dimulai dari sikap rela, dilengkapi pengetahuan dan kemampuan, tahu kondisi lapangan, mengerti hendak berbuat apa, dan dilandasi niat tulus membantu, bukan niat tulis mengutil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline