iPhone 6 baru saja diluncurkan. Tetiba saya ingat kisah pembuka Kompasiana Nangkring membincang elpiji non subsidi, Mas Mbong, yang membawa-bawa iPhone. Entah kisahnya benar atau direlevankan, tetapi kisah itu cukup menarik. Kompasianer yang ikut acara mungkin ingat bahwa dikisahkan Mas Mbong ditolak membeli elpiji tabung 3 kg karena membawa iPhone 5. Sepelenya, pemilik iPhone 5 nggak boleh beli elpiji 3 kg sama pemilik warung.
sumber: Kompasiana
Membincang jenis elpiji yang ada di pasaran memang tidak lepas dari Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2009 karena terdapat pasal 24 dan pasal 25 yang membuat adanya perbedaan jenis yang beredar di masyarakat. Pasal 24 menjadi dasar hukum elpiji subsidi tabung 3 kg, yang sering dikenal dengan elpiji melon, yang kata pemilik warung nggak boleh dibeli oleh pemilik iPhone 5. Pasal 25 adalah dasar hukum elpiji umum, termasuk disini adalah tabung 12 kg dan 50 kg.
Secara umum, bisnis elpiji di Indonesia dikatakan sebagai bisnis rugi. Cuma, menurut Pak Adi--narasumber dari Pertamina, lebih enak kalau menjual tabung melon. Soalnya, ruginya disubsidi oleh negara. Kita pasti ingat bahwa tabung melon itu ada dalam rangka konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan di era JK jadi Wakil Presiden. Oh, sebuah fakta yang agak mencengangkan. Ternyata minyak tanah itu adalah avtur dengan kadar air berlebihan. Maksudnya, perbedaan kedua bahan baku itu adalah pada kadar airnya. Kurangilah kadar air pada minyak tanah, maka bahan itu bisa digunakan untuk menerbangkan pesawat. Well, di Indonesia memang cukup banyak terjadi salah persepsi dalam hal energi. Saya dulu menggunakan bahan serupa avtur itu untuk bakar sampah. Luar biasa salah.
Ketika jual rugi tabung melon ditanggung negara, maka jual rugi tabung biru otomatis menjadi tanggungan Pertamina selaku produsen. Kenapa jual rugi? Ya karena biaya lebih murah daripada harga jual. Nah, kenapa nggak dinaikkan saja? Tahu sendiri bagaimana respon masyarakat ketika tabung biru itu akan dinaikkan harganya.
Ada satu hal yang menarik bagi saya dalam pemaparan Pak Adi pada saat acara Nangkring. Ketika sedang berganti slide untuk menjawab pertanyaan di sesi awal, saya melihat kata-kata BPK dalam sebuah slide. Saya lalu kemudian ngacung berkali-kali hingga akhirnya bisa bertanya perihal relevansi audit BPK dengan kenaikan harga elpiji non subsidi.
Pertamina adalah sebuah Perseroan Terbatas, dan termasuk BUMN. Semua keuntungan BUMN adalah milik negara karena pemegang sahamnya adalah negara. Menurut konstitusi, semuanya digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Nah, ketika BUMN rugi, maka kerugiannya juga adalah milik bangsa. Perihal untung rugi inilah yang menjadi sasaran BPK.
Badan Pemeriksa Keuangan bagi seluruh Kementerian dan Lembaga Negara, termasuk juga BUMN adalah lembaga yang disegani. Dengan gedung nan luas, serta bis pegawai yang bagus-mulus, BPK memang menjadi andalan bagi seluruh rakyat untuk memastikan bahwa uang negara itu tidak diselewengkan. BPK sendiri memiliki periode audit yang cukup panjang untuk setiap auditan. BPK juga dikenal dengan status yang diberikan pada pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan. Ada WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), WDP (Wajar Dengan Pengecualian), dan TMP (Tidak Memberikan Pendapat). Ketika BPK sudah memberi cap TMP, maka setiap auditan punya kewajiban besar untuk memperbaiki laporan keuangan. Pemeriksaan ini tidak semata-mata faktor kerugian, bahkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak ter-capture pun juga menjadi catatan. Itu cuma dalam kasus masyarakat transfer ke rekening bank, tapi tidak tercatat dengan baik sebagai PNBP. Padahal lagi, duit itu tidak masuk ke kantong siapapun. Itu saja sudah jadi kasus, apalagi jika potensi kerugian.
Dalam hal inilah Pertamina kena. Namanya saja sudah jual rugi, otomatis neraca juga akan rugi. Maka dari itu berdasarkan hasil audit kinerja pada LHP No. 6/AUDITAMA VII/KINERJA/02/2012 tanggal 5 Februari 2013, BPK menemukan bahwa Pertamina menanggung kerugian atas bisnis LPG 12 dan 50 kg selama tahun 2011 sampai dengan Oktober 2012 sebesar Rp. 7,73 Triliun. Dalam hal ini auditor BPK memberikan rekomendasi kepada Pertamina untuk menaikkan harga LPG tabung 12 kg sesuai biaya perolehan untuk mengurangi kerugian Pertamina dengan mempertimbangkan harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian serta melaporkan kenaikannya ke Menteri ESDM.
Rencana kenaikan harga sendiri dilakukan secara bertahap hingga mencapai harga keekonomian di tahun 2016. Untuk kenaikan pertama, disebutkan sekitar Rp. 18.000 per tabung. Ya, segelas kopi di kedai ternama juga nggak dapat itu, mah. Secara regulasi jelas Pertamina tidak salah untuk menaikkan itu karena elpiji 12 kg memang tidak diatur seperti halnya elpiji 3 kg. Masalahnya, ketika harga elpiji 12 kg dinaikkan, jaraknya dengan harga elpiji yang dijual rugi tapi selisihnya ditanggung negara menjadi sangat besar. Ini yang kemudian menjadi lahan mengambil keuntungan.