"Orang bilang, tanah kita tanah surga, katanya. Tapi kata dokter intel, yang punya surga cuma pejabat-pejabat. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya. Tapi kata dokter intel, kayu-kayu kita dijual ke negara tetangga. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya. Tapi kata kakekku, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.", begitulah isi potongan puisi salah seorang anak bangsa.
Siapa yang tak percaya dan meragukan kekayaan alam yang ada di Indonesia? Bentangan alam, topangan gunung-gunung, beribu-ribu pulau, hamparan lautan, serta kekayaan sumber daya alam di dalamnya menjadikan Indonesia layaknya surga dunia. Indonesia menjadi gambaran suatu negara yang dianugerahi banyak kekayaan alam oleh Tuhan, bahkan anugerah kekayaan alam yang terkandung dalam tanah Indonesia tak dimiliki oleh negara lain. Pada umumnya, suatu negara hanya memiliki salah satu jenis kekayaan alam saja, seperti negara-negara Arab yang hanya bisa bergantung pada satu jenis kekayaan alam berupa minyak bumi, Vietnam yang hanya bergantung pada hasil pertaniannya, myanmar yang mengunggulkan olah logam nikelnya, akan tetapi Indonesia memiliki kekayaan alam yang begitu beragam yang tidak dimiliki oleh negara lain, seperti emas, minyak bumi, gas alam, batu bara, perikanan, perkebunan, dan berbagai komoditas alam lainnya yang tersebar luas di berbagai daerah Indonesia.
Siapa sangka negara yang kerap kali menjadi incaran penjajahan negara-negara maju di masa silam karena kelimpahan potensinya yang menjulang, kadang kali dianggap sebelah mata oleh rakyatnya sendiri, mengapa? Indonesia tanah surga, katanya... Begitulah kiranya bagaimana rakyat kita memandang negara Indonesia. Mengapa negara yang banyak diinginkan oleh banyak pihak, namun dipandang sebelah mata oleh sebagian rakyatnya sendiri? Apakah kiranya masyarakat yang memandang seperti itu dianggap salah? Jika kita menilik kembali terkait bagaimana kondisi masyarakat kita, kalimat "Indonesia Tanah Surga, Katanya" seakan tidaklah berlebihan.
Bagaimana bisa negara ini dikatakan tanah surga jika rakyatnya sendiri masih merasakan ketimpangan sosial? Kekayaan alam yang melimpah ruah seakan hanya menjadi penyejuk mata karena tidak mampu dikelola dengan baik. Bayangkan saja, impor beras dan kebutuhan pangan lainnya yang semakin marak menjadi salah satu gambaran betapa tumpang tindihnya kepentingan politik di atas kepentingan rakyat. Data BPS (2022) menunjukkan kenaikan impor beras Indonesia yang naik hampir 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Kurangkah kekayaan alam di tanah surga (katanya)? Penguasaan media oleh para pemilik modal seakan menggiring opini bahwa stok beras dalam negeri yang menipis, padahal nyatanya data membuktikan bahwa daya pangan beras kita melimpah ruah, akan tetapi hal tersebut seakan ditutup-tutupi karena adanya suatu kepentingan politik. Harga margin keuntungan begitu besar dapat diambil dari hasil impor karena disparitas beras dalam negeri yang tinggi. Alasannya karena komoditas petani di Indonesia masih memerlukan modal yang begitu tinggi dalam panennya karena masih memakai cara lama.
Bukannya berupaya untuk membantu produksi para petani untuk mengecilkan upaya modal yang dikeluarkan mereka, justru pemerintah mematikan usaha mereka dengan begitu pesatnya daya impor beras yang begitu naik daripada sebelum-sebelumnya.Melalui data Bank Dunia, pada Juni 2023, lonjakan harga beras mencapai 514 dollar AS per ton naik sekitar 15,8%, sementara harga beras premium di pasar domestik mencapai 13.500 per kilogram (selisih 5.700 rupiah). Kalau impor beras mencapai 2 ton makanya selisih harganya mencapai 11,5 triliun. Hal ini diambil sebagai kesempatan pemerintah untuk mengalokasikan dana ke sektor lainnya, seakan menjadi tutup lubang buka lubang, pemerintah seharusnya menempuh jalan lain untuk membantu permasalah masyarakat yang ada. Konteslasi kepentingan politik negeri ini seakan hanya peduli pada citra pencapaiannya sendiri, padahal di balik itu semua masih banyak masyarakat yang merasa diabaikan. Tidaklah salah puisi yang tertulis dengan judul "Tanah Surga, Katanya", Sama maknanya dengan kalimat terakhir dari potongan puisi diatas, bahwa banyak kepentingan-kepentingan oligarki yang seakan berusaha membangun surganya sendiri, tanah yang begitu limpah kekayaannya di mata dunia, justru terasa miskin oleh mata rakyat sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H