Sistem kepartaian yang dianut oleh Indonesia sistem multipartai. Artinya dalam sistem politik Indonesia dimungkinkan untuk munculnya banyak partai. Sistem multipartai sangat familiar bagi Indonesia. Mulai dari pemilu pertama tahun 1955 yang diikuti oleh empat partai politik yaitu PNI, Masyumi, PKI dan NU. Kemudian dilanjutkan pada orde baru yang walaupun terjadi penyederhanaan partai namun tetap ada tiga partai peserta pemilu yaitu PDIP, Golongan Karya dan PPP. Pada periode ini sistem multipartai di Indonesia dianggap sistem multipartai semu karena hanya tiga partai tersebut yang boleh ikut pemilu, sedangkan partai lain yang muncul diharuskan beraffiliasi dengan ketiga partai tersebut. Kondisi ini bertahan sampai akhir rezim orde baru pada tahun 1998.
Baru kemudian sejak tahun 1999 melalui UU No. 12/1999, terjadi liberalisasi partai politik yang mengembalikan sistem multipartai murni sehingga memungkinkan banyak partai yang menjadi peserta pemilu. Dampaknya pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Ada beberapa alasan yang menyebabkan dipakainya kembali sistem multipartai murni di Indonesia. Alasan utama adalah desakan arus reformasi yang menghendaki kebebasan dan kemudahan berpolitik. Negara dituntut untuk mngembalikan hak warga negara untuk mendirikan partai politik yang selama orde baru dibelenggu.
Tapi kemudian kebebasan mendirikan partai politik ini jadi terasa kebablasan. Adanya regulasi kebebasan mendirikan partai politik ini menyebabkan munculnya banyak partai politik, bahkan banyak partai politik yang sebenarnya 1 ideologi tapi memisahkan diri menjadi banyak partai. Banyaknya partai politik yang muncul kemudian dirasakan malah menjadi beban bagi sistem politik di negara kita. Semakin banyak partai politik tentu akan semakin banyak ongkos yang harus dikeluarkan untuk biaya pembinaan terhadap partai politik dan tentu saja banyaknya partai politik akan semakin memperbesar ‘energi’ politik yang dikeluarkan.
Atas dasar itulah kemudian pemerintah mengambil inisiatif untuk membuat sebuah regulasi yang bisa ‘mengerem’ laju pertumbuhan partai yang terlampau tinggi. Regulasi inilah yang kemudian dikenal dengan mekanisme kuota (Threshold). Pemerintah kemudian mengeluarkan UU Pemilu No. 12/2003 dan UU Parpol No. 31/2002 yang diantaranya partai politik peserta pemilu harus :
- Memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR
- Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Provinsi yang sekurang-kurangnya tersebar di 50% jumlah propinsi seluruh Indonesia
- Memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/ kota yang sekurang-kurangnya tersebar di 50% jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia
Mekanisme ini disebut Electoral Trheshold. Mekanisme ini cukup efektif untuk ‘melangsingkan’ jumlah partai di Indonesia terbukti pada pemilu 2004 jumlah partai di Indonesia. Mekanisme ini juga dipandang tetap menjamin kebebasan masyarakat untuk mendirikan partai politik, hanya saja ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik agar bisa ikut serta dalam pemiludan ini dirasa tetap demokratis.
Mekanisme Electoral Trheshold memang mutlak diperlukan untuk membatasi jumlah partai peserta pemilu. Sebab jika terlalu banyak partai peserta pemilu maka akan berdampak pada semakin banyaknya biaya yang diperlukan dalam setiap pemilu. Selain itu terlalu banyaknya partai juga akan menyebabkan kebingungan bagi rakyat dalam menentukan pilihannya karena memang rakyat Indonesia belum terlalu cerdas untuk menentukan pilihan diantara banyak pilihan yang ada. Bahkan dalam banyak kejadian, banyaknya partai politik akan menyebabkan rakyat bingung dan akhirnya memilih semua partai alias Golput.
Akhir-akhir ini malah muncul wacana dikalangan anggota dewan untuk menaikkan angka Electoral threshold menjadi 4-10%. Wacana ini patut untuk dipertimbangkan agar kedepan jumlah partai politik tidak lagi sebanyak sekarang. Bahkan idealnya cukup 9-12 partai politik saja yang mengikuti pemilu, selain untuk pertimbangan efisiensi biaya, juga untuk mencegah kebingungan rakyat dalam menentukan pilihan serta mencegah adanya partai-partai semaplan yang didirikan tanpa orientasi dan ideologi yang jelas.
Selain Electoral Trheshold ada lagi mekanisme untuk mencegah perkembangan jumlah partai politik yaitu Parliementary Trheshold. Parliementary Trheshold adalah mekanisme yang menetapkan bahwa partai politik yang bisa mengirimkan wakil-wakilnya sebagai anggota dewan legislatif di senayan adalah partai politik yang memperoleh persentase tertentu dari jumlah suara nasional. Persentase Parliementary Trheshold ditetapkan sama dengan persentase Electoral Trheshold yaitu 3%. Partai yang memperoleh suara nasional dibawah 3% tidak bisa mengirimkan wakilnya ke senayan.
Kedua mekanisme ini merupakan mekanisme yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik tanpa membatasi hak untuk mendirikan partai politik, karena memang penyederhanaan jumlah partai perlu dilakukan agar jalannya politik di Indonesia dapat berjalan dengan efektif dan efisien tanpa banyak diwarnai dengan kegaduhan-kegaduhan politik yang disebabkan banyaknya kepentingan dari banyaknya partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H