Lihat ke Halaman Asli

Bully Lebih Kejam dari Penjajahan

Diperbarui: 28 Desember 2019   12:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. CNN

Pengalaman menangani kasus Bullying di sekolah, jadi punya perspektif yang meluas saat praktek bullying itu terjadi di suatu tempat, suatu masa.  Saat itu di sebuah kelas. Kelas 3. Nampak sebuah fenomena dimana beberapa siswi menampakkan perilaku yang menurut saya tidak normal. Pendiam. Tidak ceria. Tidak ekspresif. Jika ditanya hanya menunjukkan kode melalui gerakan kepala saja. Itu bukan hanya seorang. Seingat saya ada 3 anak.

Di kelas itu memang jumlah perempuannya jauh lebih sedikit dibandingkan siswa laki-laki. Dari 24 siswa satu kelas, yang perempuan hanya 6 orang. Enam anak itu nampak kemana-mana selalu bersama. Ke perpustakaan, main, lapangan. Selalu bersama. Sekilas nampak anak-anak yang kompak. Baik-baik saja dan tidak terjadi apa-apa. Itu berlangsung dalam waktu relatif lama. Hingga suatu saat muncul fenomena salah seorang dari siswi itu minta kepada orang tuanya untuk pindah sekolah. Saat ditanya apa alasannya. Selalu tidak jelas. Muter-muter yang intinya ingin dipahami bahwa pokoknya harus pindah kelas dan tak usah ditanya alasannya.

Permintaan pindah sekolah hari demi hari makin menguat. Orang tua tersebut mulai konsultasi dengan guru kelas. Bertanya ada apa gerangan kejadian sehingga menyebabkan permintaan pindah kelas anaknya. Si guru kelas kaget. Kaget karena memang di kelas selama ini nampak baik-baik saja. Semua siswa di kelasnya akrab dan akur. Pergaulan berjalan normal. Damai. Tak ada konflik. Tak ada pemaksaan. Jika ada itu hanya berupa riak-riak kecil yang segera pulih. Si guru mulai investigasi. Menanyai satu per satu mengumpulkan informasi. Hasilnya nihil. Semua menyampaikan bahwa tidak ada apa-apa. Normal.

Waktu itu saya bukan guru pengampu kelasnya. Saya di amanahi di bagian kesiswaan tapi ikut dilibatkan dalam menangani kasus 'ingin pindah sekolah' itu. Waktu itu kondisi sudah pada level orang tua yang menjadi korban sudah pada merasakan adanya perubahan sikap anaknya saat di rumah. Jumlah korban bullying yang terduga ada 3 anak. Kebetulan satu dari ketiga anak itu lebih komunikatif dibandingkan 2 lainnya. Tapi tetap saja informasi yang tergali tidak selengkap yang diharapkan. Butuh kehati-hatian hingga memutuskan bahwa itu adalah tindakan bully. Memutuskan siapa tokohnya. Siapa pendukungnya. Dan siapa korbannya. Investigasi baik tersangka maupun terduga korban yang kulakukan juga nihil hasilnya.

Sewaktu investigasi terduga korban, kulihat wajahnya, kuberikan jaminan keamanan dari kekuasaan yang kumiliki di sekolah. Bahkan kuyakinkan pelaku akan dikeluarkan dari sekolah jika terbukti. Semua jurusku telah semua dikeluarkan. Tapi tetap saja si terduga korban tak bergeming. Memperlihatkan bahwa tak terjadi apa-apa. Semua baik-baik saja. Pembully mampu memerintah apapun para korban sesuai keinginanya. Dari cara berjalannya mirip robot, mengikuti kemana saja sesuai perintah pembully. Pandangan kosong.

Tiba-tiba muncul petunjuk, adakah diantara korban itu yang punya buku diary. Alhamdulillah salah seorang ada yang punya. Segera kubaca isi buku diarynya. Dan, semua informasi tindak bully itu lengkap terurai di buku diary. Lengkap dengan ilustrasi gambarnya. Durasi tindak bully yang cukup lama hingga membuat kondisi korbannya pada level cukup akut. Diambillah tindakan treatment.

Komunikasi kepada orang tua pelaku dilakukan bahwa tindakan ini bukan hanya pada tingkat wajar. Karena efek psikologi yang tergores sangat kuat dan dalam. Komunikasi berhasil dilakukan. Syukur kepada Allah para korban bisa direcovery dengan baik. Dan pola pergaulan mereka kembali normal. Keceriaan mulai muncul di wajah-wajah para korban. Hingga saat kelulusan tiba. Semua berakhir dengan baik.

Jika penjajah membiarkan jajahannya menampakkan penderitaannya. Si Pembully lebih kejam lagi. Karena ia tak akan membiarkan korban bullynya menunjukkan penderitaannya. Pembully memaksa korban untuk menunjukkan bahwa semua baik-baik saja padahal di dalam ia menderita. Parah.

#SaveUighur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline